Indonesia dalam Kolam Susu
Sejarah dicatat dalam musik, dinyanyikan dalam lagu-lagu. Orang-orang bercerita tentang Indonesia dengan cara masing-masing sesuai apa yang mereka tangkap lewat mata, telinga, bahkan lewat cecap rasa.
Negeri ini terceritakan dalam lagu ”Nasi Goreng”, ”Surabaya”, sampai ”Kolam Susu”. Cerita Indonesia pada lagu-lagu itu digelar dalam Kisah Bunyian Negeri Nuswantara di Bentara Budaya Solo, Balai Soedjatmoko, Jumat (11/1/2019) malam.
Sekali peristiwa, seorang Jerman, sahabat dari keluarga Koeswoyo, mengatakan tentang betapa suburnya Indonesia. Ia mengibaratkan negeri ini sebagai a pond of milk. Yok Koeswoyo lalu mencatatnya dalam lagu dan menyanyikannya dalam album Koes Plus Volume 8 tahun 1973.
”Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Tulis dan lantun Yok dalam ”Kolam Susu”.
Endah Laras dan Mia atau Ismi Halida menyanyikannya bersama kelompok musik Ketumbar Jintan atau yang mereka singkat dengan Keji. Berbeda dengan gaya Koes Plus, Endah dan kawan-kawan membawakan lagu tersebut dalam irama mars, penuh semangat, cocok untuk baris berbaris.
”Ini ’Kolam Susu’ dengan pendekatan nasionalisme, ha-ha-ha… dengan mars,” kata Garin Nugroho.
Perhelatan musik ini merupakan bagian dari Dongeng Kebangsaan arahan Garin Nugroho. Di situ Garin menjadi semacam narator atau ”Tukang Dongeng” dan para musisi menjadi penyampai dongeng kebangsaan tersebut. Mereka adalah seniman musik yang selama ini menekuni bunyi-bunyian dari pelosok Nusantara.
”Bunyi-bunyian yang mengisi peradaban Nusantara yang kini terabaikan,” kata Irwansyah Harahap, etnomusikolog, pendiri grup musik Suara Sama yang diajak bergabung dengan Keji. Keji didukung Irwansyah Harahap, Gondrong Gunarto, Joko S Gombloh, Reizki Habibullah, dan kawan-kawan.
Memori rasa
Lagu ”Nasi Goreng” yang disuguhkan dalam Dongeng Kebangsaan menjadi salah satu contoh bagaimana Indonesia tercatat dalam memori rasa seorang Wieteke van Dort, perempuan berdarah Belanda kelahiran Surabaya yang kemudian hijrah ke Belanda.
Kerinduannya pada Indonesia ia catat dalam lagu ”Geef Mij Maar Nasi Goreng” (Beri Aku Nasi Goreng). Di situ sederet rasa disebut, seperti kerupuk, sambal terasi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, bakpao, sampai sate babi. Begitu beragam makanan tersaji dan itulah Indonesia dalam benak Wieteke van Dort.
Bukan hanya dari kuliner, keindonesiaan juga dinyanyikan orang dalam lagu-lagu bertema kota. Dalam pergelaran di Bentara Budaya Solo, dipilih lagu ”Surabaya” yang dipopulerkan Dara Puspita pada pertengahan 1960-an.
Garin menyebut Surabaya sebagai salah satu kota di Indonesia yang menyuguhkan negeri ”water front”, negeri pelabuhan di mana manusia dari berbagai peradaban bertemu. Mereka membentuk kultur, peradaban yang memberi bagian dari wajah Indonesia.
Dalam sejarah lagu pop era 1960-an, keindonesiaan dituturkan lewat lagu-lagu tentang suatu daerah dan sungai. Alfian menyanyikan lagu ”Senja di Kaimana”, yang kini adalah kabupaten di Provinsi Papua Barat. Ia juga berkisah melalui lagu-lagu ”Semalam di Cianjur”, ”Sebiduk di Sungai Musi”, ”Sungai Kahayan”, dan ”Pantai Sanur”.
”Kota-kota menjadikan kita mengenal keindonesiaan. Budaya pop kita memproses keindonesiaan dengan cara sederhana, tetapi mempresentasikan bagaimana kita mencintai negeri ini dengan cara yang gembira,” kata Garin.
Peradaban bunyi
Bukan hanya lagu, jenis musik seperti keroncong, gambus, dan lainnya juga bertutur tentang keindonesiaan. Irwansyah Harahap yang menekuni alat musik gambus menuturkan bagaimana alat musik yang berasal dari Yaman itu sampai di suatu negeri yang saat itu belum bernama Indonesia.
Gambus, alat musik berdawai itu, menjadi bagian dari bunyi-bunyian yang ikut membentuk peradaban bunyi di negeri ini. Gambus dikatakan Irwansyah sebagai nenek moyang oud instrument petik yang berkembang di Mesir, Suriah, Sudan, Lebanon, Palestina, Yaman, Arab, Turki, sampai Yunani.
”Tradisi gambus sudah hilang di jazirah Arab, tetapi kita justru punya di sini. Kita mewarisi tradisi yang hilang di akarnya sana,” kata Irwansyah.
Begitu pula keroncong yang dengan cerdas disintesiskan dari musik yang berasal dari Portugis dan Spanyol. Di Asia Tenggara keroncong tumbuh sampai di Filipina. Di Indonesia keroncong tersebar, sampai kemudian muncul keroncong Deli yang salah satu lagu terkenalnya dibawakan dalam pergelaran, yaitu ”Burung Nuri”.
”Tetapi keroncong di Jawa struktur musikalnya sudah tidak bisa diidentifikasi lagi,” kata Irwansyah.
Menurut Garin, gambus dan keroncong menunjukkan karakter orang Indonesia yang sangat adaptif. ”Karena kemampuan beradaptasi, rakyat negeri ini mampu keluar dari berbagai krisis,” kata Garin.
Musik dikatakan Garin memberi ruang bagi keberagaman. Dalam acara Dongeng Kebangsaan, keberagaman itu dirayakan dengan lagu-lagu. Bukan hanya asal lagu, alat musik, para pemain, tetapi juga cengkok.
Lagu ”Soleram” yang berasal dari Riau dalam pergelaran ini dibawakan Endah Laras dengan cengkok Jawa, sedangkan Mia membawakan dengan rasa Melayu. ”Kebangsaan tak hanya dibicarakan secara politik, tapi juga lewat musik,” kata Garin.
Persoalannya, dalam catatan Irwansyah, upaya olah kebangsaan lewat musik itu kurang mendapat ruang yang layak. ”Kurang tergarap interaksi antarmanusia, pluralisme itu. Lewat pintu musik itu akan lebih cair,” kata Irwansyah.
Sejarah mencatat, bahkan ketika sosok Indonesia masih dalam angan, musik telah bicara tentang negeri yang kemudian bernama Indonesia. Itu mengapa sebagai pembuka acara dimainkan lagu ”Indonesia Jiwaku” karya Guruh Soekarnoputra. Lagu itu menyampaikan sebuah impian yang menjadi nyata.
”Pada mulanya hanya mitos belaka/ Kemudian menjadi nyata/ Indonesia mengejawantah di dunia/ Adi Nugraha Sang Maha Pencipta…”.