JAKARTA, KOMPAS — Aturan perpajakan di sektor e-dagang dihadapkan pada kesenjangan tingkat ekonomi pelaku usaha. Pemerintah dinilai perlu memikirkan langkah lebih lanjut terhadap spektrum pengenaan pajak yang lebih adil bagi seluruh pelaku usaha.
Hal itu dikatakan ekonom Centre On Reform of Economics (CORE), Mohammad Faisal, di Jakarta, Minggu (13/1/2019). Ia menilai, langkah pemerintah menarik pelaku usaha e-dagang ke dalam sistem perpajakan sudah tepat.
Pajak Penghasilan (PPh) final senilai 0,5 persen dari omzet dikenakan bagi pelaku usaha dengan omzet penjualan di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Pelaku usaha yang omzetnya lebih tinggi akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Sebelumnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik diresmikan pada Jumat (11/1/2019). Aturan tersebut menentukan Pajak Penghasilan (PPh) final senilai 0,5 persen dari omzet dikenakan bagi pelaku usaha dengan omzet penjualan di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Pelaku usaha yang omzetnya lebih tinggi akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Faisal menilai, keputusan pengenaan PPh final sebesar 0,5 persen dari omzet masih terlalu menyederhanakan tingkat kesenjangan dalam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dari situ, nilai pajak pelaku usaha berpenghasilan ratusan juta akan sama dengan yang mencapai miliaran.
”Ketimpangan itu perlu jadi perhatian. Sebab, jumlah pelaku usaha yang penghasilannya ratusan juta lebih banyak daripada yang mencapai miliaran,” kata Faisal.
Ia mengatakan, pelaku usaha baru di platform e-dagang perlu dibantu dengan insentif kebijakan. Tujuannya, agar mereka dapat kesempatan untuk terus tumbuh, juga turut menambah jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia.
Di sisi lain, aturan ini juga berusaha mendorong produksi nasional walaupun secara persentase, sebesar 90 persen dari barang yang dijual di e-dagang merupakan produk impor.
Terbebani
Vice President of Public Policy & Government Relations Tokopedia Astri Wahyuni mengatakan, pihaknya masih mempelajari dampak lebih lanjut dari peraturan tersebut.
Sejumlah pelaku usaha masih menunggu kelanjutan penerapan aturan tersebut. Dyah (25), pelaku e-dagang asal Kebumen, Jawa Tengah, telah mendengar sosialisasi penerapan pajak tersebut sejak 2018. Ia ragu untuk mengikuti regulasi karena masih bingung dengan sejumlah hal teknis.
Dyah sejauh ini memiliki empat akun di empat platform e-dagang berbeda. Bila setiap akun dikenai PPh sebesar 0,5 persen, dia terbebani pajak hingga 2 persen. Selain itu, bila aturan itu menuntut kerapian pembukuan, Dyah juga merasa belum memenuhi kriteria tersebut.
”Rentang penghasilan dari produk kosmetik yang saya jual di e-dagang masih tak menentu, dari Rp 1,5 juta hingga 3 juta per bulan. Saya masih lihat bagaimana kelanjutan aturan ini,” kata Dyah.
Aris (26), penjual buku di Bandung, Jawa Barat, juga belum tahu akan melanjutkan penjualannya lewat jasa e-dagang atau tidak. Sebab, dari rentang omzet Rp 30 juta-Rp 50 juta per bulan, dia hanya mendapat keuntungan sekitar 9 persen. Bila terkena pajak, penghasilan yang ia dapat akan semakin sedikit.
”Saya rela turut di sistem perpajakan kalau hal ini bisa memberi pengukuhan status bagi pelaku usaha. Mesti ada pendampingan dari pemerintah untuk sisi pembukuan dan akses permodalan bagi pelaku usaha,” kata Aris. (E19)