Pendar Kenangan Basuning
Di dalam seni rupa kontemporer tak ada pagar yang membatasi gagasan atau pesan kontekstual karya. Baron Basuning (57) melalui pameran lukisan-lukisan abstrak di Galeri Nasional Indonesia menghadirkan suasana Alhambra di Spanyol dan Taj Mahal di India untuk menyampaikan pesan toleransi hidup beragama.
Alhambra di Granada, Spanyol, dan Taj Mahal di Agra, India, merupakan warisan kejayaan peradaban Islam di masa silam. Basuning sempat mengunjungi Alhambra pada tahun 1986 dan Taj Mahal pada tahun 1988.
”Meskipun Alhambra ada di tengah masyarakat Spanyol yang mayoritas beragama Katolik, sampai sekarang dirawat dengan sangat baik. Begitu pula Taj Mahal di India yang mayoritasnya Hindu,” ujar Basuning, Kamis (10/1/2019).
Basuning memindahkan suasana penuh toleransi itu lewat pamerannya yang berlangsung 8 Januari hingga 8 Februari 2019. Sebanyak 38 lukisan abstrak dengan rata-rata berukuran besar dipajang memenuhi dinding ruang pamer Galeri Nasional (Galnas).
Untuk ukuran terbesar, panjangnya hampir 10 meter, yaitu 9,8 meter dengan tinggi 2,4 meter. Judulnya, ”Benua Raja”, dengan media cat akrilik di atas kanvas (2018).
Pameran bertajuk ”Noor”, sama artinya dengan nur atau cahaya. Basuning memilih penulisan ”noor” itu karena sesuai ejaan nama ibunya.
Di dalam pameran itu, ruang tengah Galnas dibentuk tanpa sekat. Ketika pengunjung masuk, lukisan-lukisan abstrak itu seperti mengurung ruang imajinasi. Di antara 38 lukisan besar, ada 16 lukisan yang dipajang bersusun atas dan bawah sehingga menutupi sebagian besar bidang dinding.
”Sebenarnya ingin pula saya memajang lukisan di langit-langit Galnas,” ujar Basuning.
Sejarah
Dari beberapa referensi sejarah, bangunan Istana Alhambra didirikan antara tahun 1238-1358. Istana ini dibangun oleh kerajaan Bani Ahmar atau bangsa Moor dari daerah Afrika Utara sebagai kerajaan Islam yang sempat menguasai wilayah Spanyol bagian selatan. Kawasan ini dikenal sebagai Andalusia selama sekitar delapan abad sejak tahun 711 hingga 1492.
Sementara Taj Mahal dibangun antara tahun 1632-1653 oleh kerajaan Islam di India, yaitu kerajaan Mughal. Kaisar Mughal Shah Jahan membangun Taj Mahal untuk menghormati istri kesayangannya, Mumtaz Mahal, yang meninggal pada 1631.
”Sampai sekarang di kepala saya masih merekam keindahan seni arsitektur Alhambra dan Taj Mahal. Ada pengalaman batin yang tak terlupakan,” ujar Basuning yang menandai pameran kali ini sebagai perayaan 20 tahun berkarya seni.
Pria kelahiran Pagar Alam, Sumatera Selatan, ini sebelumnya berprofesi sebagai jurnalis. Sejak 1998 ia terjun ke dunia seni rupa.
Salah satu peristiwa yang menjadi inspirasinya, ketika menyaksikan hamparan salju Kutub Selatan, Basuning seperti melihat kanvas putih luas tak berujung. Ia pun termotivasi menjadi pelukisnya.
Sampai saat ini sudah 12 kali Basuning menggelar pameran tunggal karya-karya lukisan abstraknya. Pada 2012-2013, Basuning pernah berpameran di Agora Gallery, New York.
Pameran tunggal bertajuk Noor kali ini dibuka Eros Djarot, seorang politikus dan budayawan. Ia menuturkan salah satu pengalamannya berinteraksi dengan Basuning.
Di tahun 2001 Eros menantang Basuning yang tidak pernah berhenti membicarakan masalah seni kepadanya. Ia menyarankan Basuning agar berhenti bicara soal seni dan segera membuat pameran.
”Seminggu kemudian ia memberanikan diri tampil memamerkan karya-karyanya di gedung tempat saya berkantor sehari-hari,” ujar Eros.
Eros memandang Basuning sebagai sosok pelukis baru yang selalu gelisah. Ia berpesan agar Basuning terus memelihara kegelisahan itu dan terus berkarya.
Berkas cahaya
Kurator Pameran Noor ini, Eddy Soetriyono, menceritakan pengalaman batin Basuning. Salah satunya, di Alhambra, Basuning menatap lekat langit-langit Nasrid Palace, salah satu bagian Alhambra. Langit-langit itu membiaskan berkas cahaya yang menembus jendela-jendela kecil dan saling bersilang. Berkas cahaya ini membentuk kilauan seperti permata.
Terkait Taj Mahal, Eddy menceritakan kegelisahan Basuning tentang simetri bilateral, sesuai pendapat para ahli yang membuat pengalaman seperti berputar-putar ketika menelusuri bangunan itu. Kegelisahan lainnya, mengenai ornamen alami yang ditangkap dari dinding batu pualam atau marmer di Taj Mahal.
Basuning merumuskan, ornamen dinding bangunan Islami tidak hanya melulu kaligrafi, corak artistik arabesque, dan geometri, tetapi juga lukisan abstrak seperti terwakili keindahan abstrak alami batu-batu pualam di Taj Mahal.
Kegelisahan-kegelisahan Basuning menggiring kepada temuan itu. Maka, jadilah karya-karya seperti yang dipamerkan sekarang. Kali ini, lukisan seni abstraknya menghadirkan pengalaman batin di Alhambra dan Taj Mahal.
Pengalaman batin berbeda dialami Basuning pula di tempat-tempat lain. Seperti dituturkan Eddy Soetriyono, saat Basuning mengunjungi Masjid Nasir Al Mulk di Shiraz, Iran, yang terkenal pula dengan sebutan Pink Mosque. Bangunan itu memiliki dinding-dinding kaca patri yang sangat artistik. Ada ragam hias bidang warna geometris yang dibatasi garis-garis besi.
Yang menarik bagi Basuning, cahaya matahari yang menembus kaca-kaca patri itu mampu melumerkan bayangan garis-garis jeruji besi tadi. Cahaya matahari membebaskan keindahan warna-warni kaca patri dari batas-batas jeruji besi itu.
Basuning menangkap kekuatan cahaya yang mengalahkan sekat atau batas-batas besi. Cahaya matahari itu terus menembus dan menjadi pancaran keindahan yang terus bergerak.
Cahaya itu seolah berkreasi memperkaya dekorasi Masjid Nasir Al Mulk. Kadang terang benderang menyala-nyala, kadang melembut.
Nur atau cahaya bagi Basuning menjadi citra keilahian yang nir-rupa, abstrak, tanpa figur. Tetapi, cahaya itu puncak dari segalanya.
Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto berpandangan, pameran ini sebagai geliat baru untuk merawat eksistensi seni rupa abstrak Indonesia. Meskipun secara sekilas, pemajangan lukisan itu terbentang memenuhi dinding ruang pamer seperti ”wallpaper”. Tetapi, gagasannya mampu mengusung pesan yang kontekstual.
Pameran Noor ini menandakan Basuning memang terus menyimpan kegelisahannya. Kegelisahan tentang situasi sosial dan politik yang seolah makin enggan berkaca pada pesan toleransi di balik keberadaan Alhambra dan Taj Mahal.
Melalui Pameran Noor itu Basuning membuat doa.