Perjuangan di Balik Layar Diplomasi Indonesia
Setiap perundingan atau perjanjian yang akhirnya disepakati negara tidak bisa dilepaskan dari peran para diplomat. Bisa disebut merekalah yang berada di garis depan memperjuangkan kepentingan negara ketika berhadapan dengan kepentingan negara lain. Dalam praktiknya, ada para diplomat yang terlihat tampil di muka publik, ada juga yang berada di belakang layar.
Simaklah, misalnya, cerita Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di balik terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 dalam voting Sidang Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York, AS, 8 Juni 2018. Sekitar 10 menit sebelum voting, Retno sibuk menelepon satu per satu menlu negara anggota PBB. Perjuangan detik-detik terakhir ini untuk memastikan dukungan negara lain.
Hasilnya berbuah manis. Indonesia memperoleh 144 suara dukungan, dan terpilih untuk keempat kalinya menjadi anggota tidak tetap DK PBB. "Rasanya ringan, badannya seperti terbang," kata Retno di depan puluhan anak muda generasi milenial di acara "The Millennials Meet and Greet with Foreign Minister" di Kantin Diplomasi, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Masa-masa kampanye Indonesia di PBB itu, diakui Retno, perjuangan yang "berdarah-darah". Lobi-lobi ke banyak pihak tidak hanya dilakukan para diplomat Kemlu, tetapi juga oleh banyak pihak yang memiliki jaringan atau hubungan baik dengan negara tertentu.
Bahkan, pada bulan-bulan terakhir Retno dan para diplomat seakan berkantor di PBB. Retno juga harus sering bepergian ke berbagai negara demi memperoleh dukungan. "Di satu pojokan gedung PBB, kita seperti punya kantor. Dan waktu itu banyak sekali orang Indonesia di PBB karena semua sibuk melobi,” ujarnya.
Dalam isu lain, salah seorang di belakang layar dalam sejumlah perundingan dan perjanjian Indonesia adalah Damos Dumoli Agusman, lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tahun 1987. Ia koki yang meracik detail klausul perjanjian yang siap dihidangkan di meja perundingan. Diplomat seperti Damos bertanggung jawab menyusun rancangan perjanjian dan menegosiasikannya di meja perundingan.
Diplomat plus pengacara
Damos saat ini menjabat Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri. Ia bercerita, diplomat tak hanya memerlukan ketrampilan sebagai diplomat, tetapi juga butuh ketrampilan pengacara. "Tidak cukup skill diplomat saja atau pengacara saja. Dua skill ini harus dikawinkan," ujarnya.
Menyusun naskah perjanjian dan negosiasi di meja perundingan menuntut juru runding yang kuat dalam referensi dan memahami betul hukum internasional. Bahkan, itu pun masih harus dilengkapi kemampuan berunding dan negosiasi yang baik. Tentu bukan pekerjaan mudah mengawinkan kompetensi pada referensi hukum internasional yang hitam putih dan kemampuan negosiasi yang harus mencari solusi. Pekerjaan ini menuntut keluwesan dan selalu berorientasi solusi sehingga pihak yang diajak berunding merasa diuntungkan.
"Kalau juru runding negara lain \'menyerang\' kita dengan pertanyaan yang menohok, tentu kita harus cepat menjawabnya. Jangan sampai terlihat seperti tidak menguasai atau tidak konsisten,” tutur Damos.
Ia mencontohkan perundingan soal investasi dan tenaga kerja. Indonesia ingin, ketika mempekerjakan tenaga kerja lokal, perusahaan asing memiliki kontrak kerja yang jelas. "Bisa saja lawan balik bertanya, \'tentu Mr Damos punya asisten rumah tangga. Apakah Mr Damos memiliki kontrak kerja formal dengan mereka?\'" katanya.
"Ya spontan saya jawab, \'dalam budaya Asia, asisten rumah tangga adalah bagian dari keluarga. Masak iya kita menyodorkan kontrak kerja dengan keluarga sendiri\'. Nah, begitu. Jangan kita enggak bisa jawab,” kata Damos bercerita.
Proses perundingan memakan waktu lama, bahkan hingga puluhan tahun. Contohnya, perjanjian batas maritim yang kompleks sehingga proses pembahasannya dengan sejumlah negara tetangga berlangsung puluhan tahun. Mereka yang terlibat dalam penyusunan naskah perjanjian dan negosiasinya harus menguasai banyak hal sekaligus, mulai dari hukum laut internasional, geografi, hukum internasional, dan lain-lain.
Pernah juga terjadi sebuah perjanjian belum disepakati, padahal presiden kedua negara sudah siap menandatangani dalam sebuah acara. Menurut Damos, hal itu sepertinya disengaja oleh diplomat dari negara lain yang masuk dalam tim perundingan. Tujuannya, agar dirinya menyetujui klausul yang diinginkan negara tersebut. "Kami seperti di-fait accompli. Tapi, kami tidak mau ditekan begitu saja. Kami tetap pada pendirian. Akhirnya, dicari jalan keluar, pasal yang belum disepakati dibuat, jadi tak merugikan kedua belah pihak”.
Terkadang anggota tim perundingan frustrasi dan letih dengan proses negosiasi secara maraton. Proses perundingan melelahkan serta butuh energi dan stamina kuat. "Tapi, kita harus tetap fokus dan semangat," tutur pria yang mendapat gelar doktornya di Goethe University, Frankfurt, dengan predikat magna cum laude itu.
Diplomat tak hanya memerlukan ketrampilan sebagai diplomat, tetapi juga butuh ketrampilan pengacara.
Diplomat yang terlibat aktif dalam negosiasi memiliki tantangan berat ketika dihadapkan pada tugas penyelesaian perundingan hal-hal baru. Misalnya, perjanjian sumber daya hayati di luar yurisdiksi Indonesia, perjanjian hukum siber atau luar angkasa. Kesulitannya, di satu sisi sebagai juru runding harus memberikan sikap dan pandangan terhadap materi baru yang dinegosiasikan. Di sisi lain, pemerintah belum memiliki sikap jelas terhadap masalah itu.
Sebagai seseorang yang memperjuangkan kepentingan negara, diplomat harus mengetahui tujuan dan kepentingan negara dalam perundingan. Setelah itu, harus diingat tujuan dan kepentingan minimal yang harus terpenuhi atau dicapai.
Perundingan belum tentu berjalan mulus terlebih ketika menghadapi negara nondemokratis atau juru runding yang lihai. Negara nondemokratis atau sentralistik lebih mudah mengambil keputusan, tetapi terkadang menjadi sulit ketika pemimpin negaranya ngotot.
Damos bercerita, pernah satu waktu ia terlibat dalam perundingan Perjanjian Celah Timor (Timor Gap Treaty) dengan Australia. Satu waktu, juru runding dari Australia sukar "ditaklukkan" sehingga sulit mencapai kata sepakat. "Dia ngotot. Setelah perundingan, kita ajak dia minum kopi. Di situ kita cerita-cerita, bercanda, ketawa-ketawa. Saya jadi tahu ternyata dia ngotot asal ngotot aja. Besoknya begitu perundingan dimulai lagi malah gampang mencapai kesepakatan,” kata Damos sambil tertawa.
Pernah juga dalam satu perundingan yang berjalan alot, Damos berbicara menggunakan bahasa Indonesia kepada rekan satu tim sesama diplomat, menyusun cara agar bisa meyakinkan lawan perundingan. Ternyata, ada diplomat lawan perundingan yang mengerti apa yang dibicarakan. "Akhirnya kami ngobrol pakai bahasa Jawa saja,” kata Damos.
Membebaskan sandera
Pengalaman serupa diceritakan Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu, Lalu Muhammad Iqbal. Selama empat tahun terakhir, variasi kasus yang dia tangani bertambah. Kasus penyanderaan mulai muncul. Belum lagi kasus evakuasi warga negara Indonesia di luar negeri saat terjadi bencana atau konflik. Ada juga kasus tindak pidana perdagangan orang yang belum terungkap.
Sejak dua tahun terakhir, kasus penyanderaan di Filipina semakin intens. Dalam menangani kasus itu, komunikasi dengan pemerintah setempat, koordinasi dengan pihak keamanan setempat, sambil mendampingi juga mengabarkan keluarga korban, terus dilakukan. Karena pemerintah tidak mungkin memenuhi tuntutan penyandera yang meminta 6 juta Peso Filipina (sekitar Rp 1,6 miliar), proses negosiasi dilakukan dengan keluarga korban, sambil didampingi Kemlu.
Dari 43 kasus penyanderaan yang ditangani Kemlu sejak 2016, 40 korban penyanderaan berhasil diselamatkan. Saat ini, masih ada tiga korban yang disandera di sekitar Kepulauan Sulu, Filipina. Mereka ditangkap kelompok kriminal ketika sedang mencari ikan di perairan Kinabatangan, Malaysia.
"Bagi kita, yang terpenting mereka selamat. Semua aset jaringan digunakan untuk membebaskan mereka. Kami memiliki hubungan dekat dengan Filipina dan jaringan di masyarakatnya," ujar Iqbal.
Kasus besar lain yang yang ditangani Direktorat PWNI-BHI adalah evakuasi WNI yang terjebak dalam pertempuran di Yaman pada 2015. "Berkat koordinasi yang baik dengan kementerian setempat, kami berhasil mengevakuasi lebih dari 2.000 WNI dalam dua minggu. Ada pula negara lain yang menitipkan warganya ke kita," ujarnya.
Penandatanganan perjanjian antarnegara hanya berlangsung beberapa menit saja. Namun, persiapan tim perunding, seperti tim Damos, bisa berlangsung puluhan tahun. Begitu pula dengan proses perundingan dan pendampingan yang harus dilakukan Iqbal dan timnya.
Namun, itu proses yang harus dijalani diplomat. Meski tidak terlihat di muka publik, mereka ada di "dapur" menyiapkan strategi agar kepentingan negara kita tercapai.