JAKARTA, KOMPAS - Kualitas udara di DKI Jakarta berada dalam kondisi buruk dalam tiga tahun terakhir. Pencemaran udara menyebabkan 5,8 juta orang warga DKI Jakarta mengalami penyakit pernafasan dan jumlah itu terus bertambah.
“Pada 2016, 58,3 persen dari total warga Jakarta (yang mencapai10,2 juta orang) menderita penyakit karena pencemaran udara, di antaranya asma bronkial, chronic obstuctive pulmonary disease (COPD), infeksi saluran pernapasan akut, pneumonia, dan jantung koroner. Biaya yang digunakan untuk pelayanan medis atas penyakit pernafasan itu mencapai sekitar Rp 51,2 triliun. Jumlah penderita dan biaya medis diperkirakan terus bertambah sampai akhir 2018 karena tidak ada upaya serius mengurangi pencemaran udara,” kata Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Senin (14/1/2019) di Jakarta.
Selama tiga tahun terakhir, pada 2016 hingga 2018, parameter pencemaran udara yakni PM (particulate matter) 2,5 di Jakarta Pusat dan Selatan selalu menunjukkan angka di atas Baku Mutu Udara Daerah (BMUAD) Jakarta. Menurut Ahmad, berdasarkan standar tahunan nasional dan World Health Organization (WHO) kadar PM 2,5 masing-masing adalah 15 mikrogram (ug)/meter kubik dan 10 ug/meter kubik. Namun, konsentrasi PM tahunan di Jakarta mencapai 42,2 ug/meter kubik.
Parameter pencemaran lain, seperti ozon, juga mengkhawatirkan. Standar nasional dan Jakarta masing-masing 50 ug/meter kubik dan 30 ug/meter kubik. Namun, dalam tujuh tahun terakhir, dari 2011 hingga 2018, di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk, kadar ozon mencapai 48,69 ug/meter kubik sampai 74,69 ug/meter kubik.
Sementara itu, penyebab polusi udara di ibu kota semakin beragam. Ada dari kendaraan bermotor yang jumlahnya terus meningkat, pembakaran bahan bakar fosil terutama di industri, industri manufaktur, pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lainnya.
Memulai perbaikan
Udara Jakarta yang tercemar diprediksi akan mengalami dua kali lipat lebih parah dari sekarang pada tahun 2030. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah dari pemerintah dan juga warga Jakarta.
"Sudah selayaknya pemerintah memperbaiki kebijakan pengendalian udara, baik di pusat maupun di daerah. Perbaikan kebijakan harus mencakup seluruh aspek sumber pencemar, baik sumber bergerak seperti kendaraan maupun sumber tidak bergerak," kata Jalal, pendiri Thamrin School for Climate Change and Sustainability.
Jalal menilai, selama ini tidak ada koordinasi pengendalian pencemaran udara lintas provinsi, termasuk untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Menurut Jalal, organisasi pecinta lingkungan Greenpeace pernah melakukan pemodelan terhadap sumber emisi yang ada di sekitar Jakarta yang berpotensi berkontribusi terhadap polusi udara.
Hasilnya, Jakarta akan menjadi ibukota negara yang dikelilingi PLTU baru terbanyak di dunia dalam radius 100 km dibandingkan dengan ibukota lainnya. Dua PLTU akan dibangun di Banten dan Jakarta. Selain itu, terdapat beragam industri legal maupun ilegal lain yang juga mencemari udara Jakarta, seperti semen dan peleburan aki.
Oleh karena itu, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengakui bahwa kualitas udara Jakarta tercemar. Pemerintah pusat harus menginformasikan dan melibatkan masyarakat dalam perkembangan perubahan peraturan tentang pengendalian pencemaran udara.
Selain itu, pemerintah harus membuka ruang partisipasi dalam penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara yang terfokus dan terarah. Salah satu langkah besar dengan tidak memberikan izin baru untuk usaha atau kegiatan yang menimbulkan emisi ke udara.
Langkah ini didukung Ahli Pencemaran Udara dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Driejana. Ia juga mengatakan ada sejumlah hal yang bisa mendorong percepatan pemulihan kualitas udara. Misalnya perbaikan dari segi data pendukung kebijakan, perbaikan dari segi pengendalian dan reduksi emisi, lalu meningkatkan peran pemerintah daerah dan tentunya pemerintah pusat.
"Pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21 tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal," kata Driejana.
Instrumen pengendalian pencemaran udara yang baru dari revisi kedua kebijakan tersebut diharapkan bisa menekan pencemaran udara di Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Namun sayangnya agenda perubahan kebijakan pengendalian pencemaran udara ini, belum terlihat kelanjutannya di level nasional.