JAKARTA, KOMPAS – Tahun 2019, pemerintah mengalokasikan Rp 4,3 triliun untuk program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Program yang dikenal dengan bedah rumah terhadap rumah tidak layak huni tersebut menjadi salah satu fokus perhatian pemerintah dalam Program Sejuta Rumah.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid, Minggu (13/1/2019), di Jakarta mengatakan, BSPS menjadi salah satu fokus pemerintah di tahun 2019. Sebab, pada 2015 tercatat sebanyak 3,4 juta unit rumah tidak layak huni yang perlu dibantu pemerintah.
“Program ini juga membangkitkan keswadayaan masyarakat. Artinya mereka yang dibantu bisa gotong royong karena dari bantuan senilai Rp 15 juta, bisa melakukan renovasi yang kalau dihitung nilainya mencapai Rp 50 juta. Selain itu program BSPS ini merangsang ekonomi,” kata Khalawi.
Dari angka rumah tidak layak huni (RTLH) 3,4 juta unit, antara 2015-2019 ditargetkan bisa turun 1,75 juta unit. Penanganan rumah tidak layak huni dilakukan melalui BSPS, dana alokasi khusus (DAK), maupun oleh pemerintah daerah. Hingga akhir 2018, pemerintah mencatat 987.047 unit rumah tidak layak huni telah ditangani. Dengan demikian, masih terdapat 2.412.953 unit rumah yang mesti ditangani.
Menurut Khalawi, rata-rata rumah tidak layak huni yang mendapat bantuan pemerintah melalui program BSPS sekitar 200.000 unit per tahunnya. Setiap rumah akan menerima bantuan berupa material dan uang untuk upah tenaga kerja sebesar Rp 15 juta.
Dengan alokasi anggaran Rp 4,3 triliun, maka tahun ini pemerintah berharap bisa menyalurkan BSPS untuk 206.500 unit rumah. Dengan demikian, sampai akhir 2019, ditargetkan 1,2 juta rumah sudah tidak lagi termasuk rumah tidak layak huni. “Sekitar 95 persennya untuk kegiatan peningkatan kualitas rumah dan sekitar 5 persen untuk pembangunan baru,” ujar Khalawi.
Mestinya, perbaikan rumah tidak layak huni diletakkan dalam program pengentasan kawasan kumuh yang biasanya ada di perkotaan.
Karena pemerintah fokus ke BSPS, maka anggaran untuk program pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dikurangi. Jika tahun 2018 pemerintah membangun 315 menara menjadi 130 menara dengan anggaran Rp 2,7 triliun. Namun demikian, Khalawi memastikan penyaluran BSPS akan tetap selektif dan dilakukan secara berjenjang. Dengan demikian, penerima BSPS pun tepat sasaran.
Secara terpisah, pengajar Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Institut Teknologi Bandung, M Jehansyah Siregar menilai, selama ini tidak pernah ada evaluasi menyeluruh terhadap program BSPS. “Tidak ada pentingnya pemerintah untuk mendorong keswadayaan masyarakat membangun asetnya sendiri dan tidak ada dasarnya pemerintah memberikan stimulan untuk rumah milik atau aset pribadi,” kaya Jehansyah.
Menurut Jehansyah, mestinya perbaikan rumah tidak layak huni mesti diletakkan dalam program pengentasan kawasan kumuh yang biasanya ada di perkotaan. Dengan demikian, indikator rumah tidak layak huni yang mencakup atap, dinding, maupun lantai, dapat diterapkan. Namun, indikator tersebut menjadi bias jika dikenakan untuk rumah di pedesaan karena di pedesaan bahan bangunan menyangkut kearifan lokal.
Selain itu, lanjut Jehansyah, para penerima program BSPS perlu diperjelas. Sebagaimana program bantuan sosial lainnya, pemerintah mestinya memiliki data dasar mengenai masyarakat yang memang tidak mampu dan perlu diberi bantuan. Jika tidak, dikhawatirkan program BSPS hanya menjadi sarana untuk meraih simpati dari masyarakat.