Bekasi Harus Kreatif Tangani Sampah
BEKASI, KOMPAS – Kota Bekasi memiliki banyak pekerjaan rumah untuk bertransformasi menjadi kota cerdas. Pemerintah dituntut untuk lebih kreatif untuk menciptakan solusi atas permasalahan kota. Salah satunya ihwal pengelolaan sampah.
Berdasarkan Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2018 yang diukur harian Kompas, Kota Bekasi mendapatkan skor 54,34 untuk kategori kota Metropolitan atau kota yang berpenduduk minimal 1 juta orang. Skor kota yang dipimpin Rahmat Effendi itu cukup jauh di bawah tiga kota metropolitan lain yang menduduki posisi tiga besar, yaitu Surabaya (67,03); Semarang (63,69); dan Tangerang Selatan (61,68).
Indeks diukur dari enam dimensi kecerdasan kota yang diadopsi dari konsep Smart City Wheel dari Boyd Cohen. Dimensi kecerdasan itu adalah lingkungan, mobilitas, pemerintah, ekonomi, masyarakat, dan kualitas hidup. Keenamnya diturunkan menjadi 18 subdimensi, 26 indikator, dan 71 subindikator. Bobot tertinggi ada pada dimensi masyarakat cerdas.
Meskipun tidak mendapatkan nilai terburuk, dimensi lingkungan Kota Bekasi membutuhkan pembenahan, terutama pada pengelolaan sampah. Kepala Seksi Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Nazirwan di Bekasi, Senin (14/1/2019), mengatakan, belum semua produksi sampah kota bisa ditangani.
“Total produksi sampah mencapai 1.700 ton per hari, tetapi baru 600-700 ton yang bisa kami angkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang,” kata dia.
Nazirwan menambahkan, pengangkutan sampah terkendala keterbatasan armada. Terdapat 239 truk yang harus berkeliling ke 1.013 rukun warga (RW) di 12 kecamatan dan 56 kelurahan setiap hari. Dengan beban kerja itu, truk hanya mampu melintas satu putaran per hari.
“Sistem pengangkutan sampah kami itu dari pintu ke pintu, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama,” kata Nazirwan. Untuk melayani 2,7 juta penduduk idealnya Kota Bekasi memiliki 400-450 truk.
Pengangkutan sampah terbanyak dicapai pada Februari 2018. Saat itu, 239 truk bisa membawa 1.000 ton sampah per hari. Menurut Nazirwan, hal itu didukung oleh kondisi seluruh truk yang prima.
Kini, kondisi truk tidak sebaik Februari 2018. Meskipun semuanya bisa beroperasi, tetapi hasilnya tidak seoptimal tahun lalu. Padahal, biaya perawatan yang dikeluarkan mencapai Rp 10 miliar per tahun.
Persoalan pengangkutan sampah tidak berhenti pada keterbatasan armada tetapi juga keterbatasan kapasitas TPA Sumur Batu. TPA seluas 20 hektare (ha) itu sudah penuh. Pemerintah Kota Bekasi harus memperluas areal setiap tahun.
“Kami telah menambah areal seluas 1,1 ha dan sudah siap digunakan pada 2019,” ujar Nazirwan.
Menurut Nazirwan, volume sampah yang dibawa ke TPA Sumur Batu semestinya bisa dikurangi dengan memanfaatkan teknologi. Namun, teknologi yang dimiliki terbatas. Di Kota Bekasi baru ada satu alat pemadat sampah yang biasa digunakan untuk mengecilkan dimensi sampah.
Bank sampah
Kepala Bidang Penataan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Ferdinan mengatakan, sampah yang tidak terangkut ke TPA semestinya bisa dikelola melalui bank sampah.
Sampai saat ini, ada 911 bank sampah yang tersebar di tingkat RW. Bank-bank sampah itu berperan mengurangi produksi sampah sebanyak 10-15 persen dari total produksi sampah harian.
“Akan tetapi, yang aktif beroperasi hanya sekitar 200 bank sampah. Kami masih menyelidiki kenapa sisanya tidak aktif,” kata Ferdinan.
Pada setiap bank sampah, Dinas Lingkungan Hidup memberikan bantuan peralatan di antaranya timbangan dan buku referensi. Selain itu, bank sampah juga dibantu untuk menjadi badan hukum.
Menurut Ferdinan, kesadaran warga untuk mengurangi produksi sampah sejak dari lingkup rumah tangga memang masih perlu ditingkatkan. Sebagian besar masyarakat belum memiliki pengetahuan pengelolaan sampah dan bersikap pasif.
Oleh karena itu, pihaknya mendatangi masyarakat secara langsung untuk memberikan edukasi pengelolaan sampah. Dampak edukasi itu pun belum bisa diukur.
“Sosialisasi yang kami lakukan masih sporadis, belum ada program rutin. Menurut rencana, kami baru akan melaksanakannya secara rutin pada 2019,” ujar Ferdinan.
Dari program itu, diharapkan 50 persen bank sampah bisa beroperasi pada 2019. Adapun target jangka panjangnya, mengubah paradigma masyarakat untuk tidak membuang sampah, tetapi meminimalkan produksi sejak dari sumbernya.
Libatkan Warga
Pengamat perkotaan Nirwono Joga mengatakan, tidak tertanganinya persoalan sampah di Kota Bekasi menandakan bahwa pemerintah kota masih terkungkung pada pola pengelolaan sampah usang, yaitu mengumpulkan, mengangkut, lalu membuang ke TPA.
Menurut dia, pola tersebut sudah semestinya dinomorduakan karena tidak efektif dan memerlukan biaya besar. Prioritas pengelolaan sampah perlu difokuskan pada pemberdayaan masyarakat. Alih-alih hanya mengangkut sampah, pemerintah juga bertanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat terkait pengelolaan sampah.
Sebab, masyarakat mulai dari rumah tangga hingga industri yang ada di kota itu adalah produsen sampah. Peranan warga pun menjadi ujung tombak pengolahan sampah.
“Pemerintah Kota Bekasi harus bisa lebih kreatif, apalagi dengan luas wilayah kota yang kecil urusan pengolahan sampah semestinya tidak terlalu berat,” kata Nirwono.
Dimulai dengan memetakan jumlah sampah organik dan anorganik di setiap wilayah, kemudian merencanakan tindakan pada setiap jenis sampah. Kreativitas itu juga bisa dilakukan dengan menantang warga dan lembaga pendidikan untuk berinovasi menciptakan teknologi pengelolaan sampah.
Menurut Nirwono, jika pengelolaan sampah bisa selesai di lingkup warga, biaya operasional pengangkutan sampah bisa ditekan bahkan dialihkan untuk membiayai inovasi warga. Di samping itu, perlahan-lahan TPA juga bisa hilang karena tidak berfungsi lagi.
“Seperti di beberapa negara di Eropa, TPA sudah tidak dibutuhkan sehingga bisa dialihfungsikan menjadi taman atau stadion olahraga,” kata dia.
Pilihan lain, pemerintah dapat menjadikan keberhasilan mengurangi produksi sampah sebagai indikator kerja lurah dan camat. Cara tersebut dirasa efektif untuk meningkatkan semangat aparatur sipil negara (ASN) untuk bekerja keras mengurangi sampah.
Sampah di mana-mana
Tidak optimalnya pengangkutan dan upaya pengurangan produksi sampah di sumbernya mengakibatkan tumpukan sampah yang menyebar dimana-mana. Jika dikalkulasikan, dari total 1.700 ton sampah per hari, setengahnya tidak terangkut oleh truk dan tidak terkelola di bank sampah.
“Sisa itulah menjadi sampah liar. Lokasinya menyebar, baik di tanah kosong maupun di sungai,” kata Nazirwan.
Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup, terdapat 58 lokasi tempat pembuangan sampah liar. Dari 58 lokasi itu, unit pelaksana teknis daerah telah menangani 34 lokasi. Sementara itu, 24 lokasi lainnya masih terbengkalai.
Salah satu lokasi pembuangan sampah liar ada di bantaran Kalimalang, Jalan Rawa Indah, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur. Mulai dari sampah organik, plastik, gabus, hingga batang pohon berceceran di turap sungai. Pada beberapa titik, terdapat tumpukan abu sisa pembakaran.
Endah (35), warga RT 06 RW 04, Margahayu, Bekasi Timur, mengatakan, setiap hari ada saja orang yang lewat sambil membuang sampah ke sungai. Ia yang berdagang kaki lima di bantaran Kalimalang pun melakukan hal serupa.
“Kalau sampah basah saya buang ke tempat pembuangan, kalau sampah kering langsung saja dibakar di pinggir kali,” kata Endah.
Endah menambahkan, bantaran kali tersebut juga tidak pernah dibersihkan. Tidak ada truk sampah yang mengangkut sampah dari sana. Oleh karena itu, warga pun berinisiatif untuk membakar sampah sedikit demi sedikit.
Membuang sampah di sungai juga masih dilakukan oleh Edi Yusuf (68), warga RT 02 RW 01, Margahayu, Bekasi Timur. Ia mengatakan, sudah 20 tahun tinggal di Kota Bekasi dan selalu membuang sampah di sungai. Begitu juga sebagian besar warga di lingkungannya.
“Habis bagaimana, rumah saya lebih dekat ke kali daripada ke tempat pembuangan sampah,” kata Edi.
Dampaknya, sampah tersebut terbawa ke aliran Kalimalang yang berada di belakang kampus Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi. Pada Senin siang, sampah menumpuk dan tidak bergerak sepanjang 20 meter.
Tumpukan sampah sungai terparah ada di Kali Bancong, Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria. Sudah sejak September 2018, aliran sungai itu dipenuhi sampah plastik, gabus, kayu, sisa makanan, dan barang-barang besar seperti kursi, hingga 100 meter. Selama itu pula, sampah mengeras, sebagian mengalir ke hilir, yaitu Kali Pisang Batu di Desa Pahlawan Setia, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.
Di sekitar Kali Bancong, berdiri lebih dari lima kompleks perumahan, kavling permukiman padat, pasar, dan kompleks rumah toko. Di setiap lingkungan, terutama kompleks ruko, sampah menumpuk di depan toko, pinggir jalan, hingga menyumbat saluran air.
Staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) Alat Berat Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi Toni mengatakan, pihaknya telah membuat sistem pengangkutan sampah sungai dengan membentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) di setiap kecamatan. Pengangkutan sampah dilakukan jika ada laporan dari pihak UPTD. “Pembersihan secara rutin hanya kami lakukan di sungai-sungai besar, misalnya Kali Bekasi,” kata dia.