Berwisata Sambil Menggugat Kemandirian
Bagi komunitas Jakarta Barrier Free Tourism, bervakansi di Jakarta bukan sekadar untuk kesenangan. Berwisata adalah juga untuk menggugat keberpihakan berbagai pihak pada aksesibilitas penyandang disabilitas. Mereka ingin mandiri, bukan minta dikasihani.
Aisyah berdiri dari kursi roda, lalu meminta perempuan petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang mendorongnya untuk mengambilkan foto. Ia bergaya di depan lukisan, dan dua-tiga jepretan pun dihasilkan.
Arus lalu lintas para pengguna kursi roda lainnya agak tersendat karena kursi roda Aisyah menutup satu-satunya akses yang memadai di dalam salah satu ruang koleksi lukisan itu, di Museum Seni Rupa dan Keramik, Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Minggu (13/1/2019). Tidak ada yang marah. Mereka semua sedang menikmati berwisata tanpa diburu waktu.
“Ma-cet-ya? Ma-af,” tutur Ica, sapaan akrab Aisya, terbata-bata sambil tersenyum malu. Penyandang cerebral palsy ini pun berjalan perlahan-lahan kembali ke kursi roda, lalu semuanya berarak menuju ruang selanjutnya.
Sekitar 30 orang, termasuk Ica, turut serta dalam wisata ke Museum Seni Rupa dan Keramik yang diagendakan Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT). Mereka terdiri dari penyandang disabilitas, simpatisan non disabilitas, perwakilan Dishub DKI, Dinas Bina Marga DKI, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Setidaknya ada delapan pengguna kursi roda yang bergabung, termasuk penggagas JBFT Cucu Saidah dan Faisal Rusdi.
Adapun Ica sehari-hari lebih memilih untuk berjalan sendiri. Ia disediakan kursi roda hanya saat tur di Museum Seni Rupa dan Keramik. Selain ia dan para pengguna kursi roda, ada juga penyandang disabilitas tuli (mereka lebih nyaman disebut tuli dibanding tuna rungu, karena keadaan mereka adalah identitas, bukan ketunaan). Bersama, mereka “menginspeksi” aksesibilitas sarana dan prasarana di museum.
Minim fasilitas
Seakan sudah paham tujuan utama para wisatawan ini, Kepala Unit Pengelola Museum Seni, Esti Utami, mengakui, tingkat keramahan fasilitas Museum Seni Rupa dan Keramik terhadap penyandang disabilitas masih minim. Namun, ada alasannya. “Ini bangunan cagar budaya, sehingga tidak dengan gampang merubahnya. Perlu waktu lama dan konsultasi yang panjang dengan Tim Sidang Pemugaran,” ujar dia.
Keaslian bangunan cagar budaya memang wajib dijaga. Museum Seni Rupa dan Keramik di masa kolonial merupakan Radd van Justitie (Dewan Kehakiman). Bangunan didirikan tahun 1870.
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/01/20190113_110904.mp4"][/video]
Esti mengatakan, fasilitas ramah disabilitas baru sebatas jalur melandai (ramp) di lantai satu. Tidak ada lift dan eskalator menuju lantai dua, dan tidak ada jalur melandai selain di lantai satu.
Hal itu dirasakan benar oleh Cucu. Ia leluasa menjelajah ruang-ruang koleksi di lantai satu. Namun, di salah satu ruangan, hanya ada satu tangga besi melingkar untuk menuju lantai dua yang tingginya mungkin 6-7 meter. Tangga dengan lebar anak tangga yang sempit itu juga asli sejak gedung pertama kali berdiri. “Waduh,” begitu mungkin kata Cucu dalam hati saat matanya menyapu seluruh bagian tangga dari bawah ke atas.
Para pemakai kursi roda pun mesti legawa mempersilakan kawan-kawan disabilitas lain yang masih kuat berjalan untuk mengunjungi ruang koleksi di lantai dua. Mereka terutama adalah teman-teman tuli. Untungnya, ada sukarelawan penerjemah bahasa isyarat yang mendampingi mereka agar memahami penjelasan pemandu tur museum.
Sebenarnya, memfasilitasi penyandang disabilitas tidak harus dengan mengubah rancangan bangunan. Cucu pun merekomendasikan siasatnya.
“Jika memang mentok, tidak bisa ke lantai dua, buatlah video tentang apa saja yang ada di lantai dua. Ada yang menarasikan, ada teksnya juga. Sediakan layar dan kursi di lantai satu untuk menonton,” kata Cucu.
Suara narator akan membantu tuna netra, sedangkan teks di video menolong teman-teman tuli. Ia menekankan, usulan ini bukan hanya untuk membantu penyandang disabilitas, tetapi juga lansia, ibu hamil, dan anak-anak yang tidak kuat naik ke lantai dua. Inilah universalitas aksesibilitas.
Bus transjakarta
Sorotan tidak hanya ditujukan JBFT pada Museum Seni Rupa dan Keramik. Sarana untuk mencapai museum itu pun tidak luput dari kritik. Padahal, dari titik kumpul di seberang Balai Kota DKI, rombongan berangkat menumpang bus berlantai rendah (low deck) transjakarta yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bus yang dibanggakan PT Transportasi Jakarta sebagai bus ramah disabilitas.
Ternyata, sabuk pengaman untuk pengguna kursi roda tidak bisa dipasang. Lebih celaka lagi, area untuk kursi roda (dan hanya satu-satunya) di bus yang ramah itu cuma terdapat di sisi pintu darurat. “Padahal, pintu emergency harus bebas dari hambatan. Bayangkan kalau terjadi sesuatu di dalam bus, bagaimana penumpang bisa menyelamatkan diri jika ada pengguna kursi roda di sana,” tutur Cucu.
Selama akses masih belum universal seperti sekarang, penyandang disabilitas akan kesulitan saat keluar dari rumah. Akibatnya, mereka sulit menjalankan kegiatan produktif, menambah beban keluarga, meningkatkan kemiskinan, dan ujungnya menambah beban keuangan negara untuk memberi bantuan sosial bagi keluarga miskin.
Namun, di tengah berbagai keterbatasan fasilitas itu, para penyandang disabilitas berusaha mandiri dengan kiat masing-masing. Sebagian menemukan jalannya.
Arya Yoga Rudhita, salah satu pengguna kursi roda, memilih mengandalkan mobil modifikasi yang membuatnya bisa mengerem dan mengegas dengan tangan. “Saya paling jauh menyetir ke Surabaya, dari rumah di Kota Bekasi,” ucapnya.
Kemandirian penyandang disabilitas di suatu negara sesungguhnya merupakan salah satu parameter pengukur peradaban bangsa.