Cegah Trauma Otot Dasar Panggul dengan Deteksi Pada Masa Kehamilan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pemeriksaan risiko trauma otot dasar panggul pada masa kehamilan perlu dilakukan agar dokter bisa mempersiapkan kelahiran bayi yang aman dan perawatan setelah persalinan yang tepat. Sebab, kerusakan otot dasar panggul mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari tak bisa mengendalikan buang air hingga turun peranakan.
”Otot dasar panggul atau levator ani merupakan komponen utama panggul. Kelahiran alami melalui saluran vagina memiliki risiko trauma levator ani 15-30 persen,” kata Budi Iman Santoso dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta, Sabtu (12/1/2019).
Otot dasar panggul atau levator ani merupakan komponen utama panggul. Kelahiran alami melalui saluran vagina memiliki risiko trauma levator ani 15-30 persen.
Trauma atau kerusakan otot itu mengakibatkan penderita sulit mengendalikan buang air kecil dan besar, disfungsi seksual, serta peranakan turun. Jika peranakan turun, mobilitas terganggu karena sakit ditimbulkan. Hal itu menurunkan mutu hidup penderita dan menambah beban kesehatan.
Tanda trauma
Tanda-tanda trauma otot dasar panggul bisa dilihat saat perempuan hamil. Karena itu, Budi mengembangkan Budi Iman Santoso Assessment System (BISSA) berupa perangkat kuesioner untuk diisi dokter spesialis kebidanan dan kandungan saat menangani pasien yang hamil ataupun melahirkan. Metode itu lebih murah dibandingkan dengan memindai dengan ultrasonografi (USG) empat dimensi.
”Dokter hendaknya menanyakan kepada pasien jika saat hamil urine mudah keluar ketika bersin atau batuk,” kata Budi. Jika itu terjadi, otot levator ani pasien mulai rusak. Untuk mencegah trauma lebih lanjut, ibu hamil dianjurkan bersalin lewat operasi sesar.
Namun, banyak perempuan memilih melahirkan secara alami jika tak ada risiko mengancam nyawa. Jika pasien memilih persalinan normal, dokter harus dengan ketat memandu saat melahirkan dan mengawasi setelah persalinan selama tiga bulan. Pada bulan ketiga, USG dasar panggul perlu dilakukan.
Ada pula pasien yang tak menunjukkan gejala selama kehamilan dan baru tampak saat persalinan. Tanda-tandanya adalah saat ibu hendak bersalin dan bukaan ke-10, ia harus mengejan satu jam atau lebih. Padahal, bobot bayinya tak lebih dari 3.300 gram.
”Dokter mesti berhati-hati dalam mengunting saluran kelahiran agar tak terjadi kerusakan lebih jauh,” kata Budi. Setelah tiga bulan setelah melahirkan, pasien harus diperiksa melalui USG dasar panggul.
Jika terjadi kerusakan otot dasar panggul, hal itu bisa diatasi dengan pembedahan. Itu pun hanya bisa membaik 70-80 persen. Apabila pasien menunjukkan tanda trauma levator ani pada masa kehamilan ataupun melahirkan, ketika hamil anak kedua harus melahirkan lewat operasi sesar.
Menurut Budi, BISSA diajarkan di program spesialis kedokteran kandungan dan kebidanan FKUI sejak dua tahun lalu. Dokter kandungan diharapkan memperhatikan perubahan di otot dasar panggul perempuan sebagai bagian dari layanan kesehatan reproduksi.
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam mengatakan, BISSA adakah salah satu layanan kesehatan FKUI berbasis bukti ilmiah. Inovasi kesehatan umumnya disosialisasikan melalui kolegium dokter spesialis. ”Hasil penemuan bisa dipatenkan lebih dahulu, baru disetujui kolegium untuk diterapkan secara nasional,” ujarnya.