Demokratisasi, di Antara Erosi dan Kepercayaan Masyarakat
Direktur Asian Studies di Asia Institute University of Melbourne Vedi R Hadiz pada akhir pekan lalu menjadi narasumber dalam diskusi terbatas yang digelar di kantor harian Kompas di Jakarta. Vedi menyatakan menghargai proses demokratisasi di Indonesia yang berlangsung sejak reformasi 1998.
Namun, ia menilai ada ”cacat” dalam demokratisasi tersebut. Sebab, setelah reformasi, oligarki tetap menguasai Indonesia. Jika di era Orde Baru oligarki tersentralisasi di lingkaran kekuasaan di pusat, kini oligarki terdesentralisasi.
Selain itu, jika di era lalu oligarkis memerlukan otoritarianisme untuk mengamankan kepentingannya, kini oligarkis juga melihat demokrasi cukup memadai untuk melanggengkan aksesnya atas sumber-sumber material tersebut.
Vedi juga mengatakan, ”Sekarang, oligarki sifatnya faksional dan faksi-faksi ini sifatnya lentur, cair.” Sifat lentur dan cair ini bisa dilihat dari fenomena koalisi yang terbentuk di tingkat pusat bisa sangat berbeda dengan koalisi di tingkat daerah.
Terkait hal itu Kompas meminta pandangan penulis buku Islamic Populism in Indonesia and the Middle East dan Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective ini terkait isu demokrasi dan perkembangan politik di Indonesia. Berikut petikan tanya-jawabnya.
Anda menyampaikan ada oligarki yang beradaptasi dengan demokrasi dan terjadi erosi demokrasi di Indonesia. Namun, demokrasi masih dipercaya oleh masyarakat. Apa yang membuat demokrasi tetap dianggap penting?
Pertama, sudah tumbuh setidaknya satu generasi yang menganggap bahwa demokrasi itu ”normal”, bukan sesuatu yang harus diperjuangkan lagi. Ingat, secara demografis Indonesia terbilang muda komposisi penduduknya, bahkan median age di Indonesia adalah di bawah 30 tahun. Jadi banyak yang tidak mengalami masa otoritarianisme.
Ingat, secara demografis Indonesia terbilang muda komposisi penduduknya, bahkan median age di Indonesia adalah di bawah 30 tahun. Jadi banyak yang tidak mengalami masa otoritarianisme.
Kedua, di antara generasi-generasi yang lebih tua pun, walaupun cukup banyak yang kadang-kadang bernostalgia tentang keberaturan masa Orde Baru (sambil melupakan bahwa itu dihasilkan oleh represi politik), banyak juga yang sudah terbiasa dengan sistem yang berlaku saat ini beserta norma-norma yang menyertainya, seperti kebebasan berpendapat. Mereka sudah take for granted adanya norma-norma seperti ini.
Bagaimana cara Indonesia agar bisa melepaskan diri dari oligarki ini? Langkah apa yang mungkin diterapkan baik oleh partai politik, negara, maupun masyarakat sipil?
Pertanyaan ini mengasumsikan bahwa ada kepentingan di dalam parpol, negara, dan masyarakat sipil untuk melepaskan diri dari jeratan oligarki. Itu masih harus dibuktikan. Kenyataannya, saat ini kepentingan oligarkis masih cukup dominan di dalam tubuh parpol, aparat birokrasi negara, dan bahkan dalam sebagian masyarakat sipil, yaitu terutama dalam bentuk ormas-ormas yang punya sejarah di masa Orde Baru.
Menurut saya, jeratan oligarki hanya bisa melemah kalau ada pertemuan di antara berbagai faktor. Di antaranya yang terpenting adalah dua hal. Pertama, krisis dalam tubuh oligarki itu sendiri dan kedua, siapnya kekuatan alternatif. Pada masa 1997-1999 sebenarnya yang sedang terjadi adalah krisis oligarki sehingga Soeharto pun dipaksa untuk turun takhta. Namun, saat itu tidak ada kekuatan alternatif yang terorganisasi yang mampu mengisi kekosongan sementara yang muncul. Akibatnya, kekuatan oligarkis itu melakukan reorganisasi diri dan belajar beradaptasi dengan lingkungan demokrasi baru untuk melanggengkan dominasinya.
Apakah harapan terhadap demokrasi masih ada? Bagaimana memeliharanya kalau memang masih ada. Atau bagaimana menumbuhkannya kembali kalau sebaliknya?
Menurut saya, walaupun demokrasi Indonesia cacat, bahwa kita masih punya demokrasi adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Sebagai orang yang besar pada masa otoritarianisme Orde Baru, saya menghargai bahwa sekarang ada kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, dan lainnya.
Yang harus dijaga, pada tingkat paling minimal, adalah agar demokrasi yang sudah cacat tidak semakin bobrok. Itu yang patut dikhawatirkan terjadi dengan mencuatnya retorika hiper-nasionalis maupun populisme agama yang cenderung konservatif. Sebab, dua-duanya menciptakan rintangan baru terhadap usaha panjang untuk menciptakan demokrasi yang lebih inklusif, yang lebih progresif.
Di Indonesia, seperti halnya negara lain, sedang menguat kekhawatiran terhadap penyebaran disinformasi atau hoaks. Menurut Anda, sebenarnya masalah apa yang melatari mudahnya hoaks dijual? Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?
Walaupun demokrasi cenderung diterima masyarakat luas, hal itu tidak berarti tingkat kepercayaan anggota masyarakat terhadap perangkat kelembagaannya akan selalu tinggi. Adanya demokrasi menumbuhkan semacam angan-angan tentang demokrasi yang ideal, yang tidak pernah tercapai dalam realitas.
Dalam realitas tersebut terlihat bahwa parpol, DPR, DPRD, dan sebagainya cenderung menjadi permainan elite saja, bukannya memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Korupsi tetap merajalela, bahkan menjadi bagian penting dari sistem demokrasi itu sendiri, sehingga rasa keadilan tetap saja dicederai. Informasi yang berasal dari lembaga-lembaga resmi, termasuk pers yang untuk sebagian juga bertautan dengan faksi-faksi oligarki yang berkompetisi, kurang dipercaya.
Dengan demikian, masyarakat menjadi sangat mudah untuk diyakinkan oleh rumor, gosip, dan berbagai sarana disinformasi masyarakat yang terutama beredar lewat media sosial sebagai sumber informasi ”alternatif”. Walau informasi alternatif ini diproduksi di luar lembaga-lembaga resmi, produsennya bisa saja termasuk partisipan dalam kompetisi pada sistem kekuasaan yang resmi sebagai bagian dari strategi politik. Begitu mudahnya mengedarkan hoaks adalah simtom dari suatu penyakit yang serius dalam demokrasi kita.