JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat membuka pendaftaran bagi dua posisi hakim konstitusi menyusul akan berakhirnya masa jabatan dua hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams dan Aswanto. Masa jabatan dua hakim konstitusi yang berasal dari DPR tersebut akan berakhir pada 21 Maret 2019.
DPR telah mengumumkan pembukaan pendaftaran pencalonan hakim konstitusi sejak 11 Januari 2019. Pendaftaran akan ditutup pada 18 Januari 2019 pukul 16.00 WIB. Dalam pengumuman itu, DPR mengutip isi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana telah diubah dengan UU No 8/2011. Pasal tersebut mengatur tentang syarat-syarat menjadi hakim konstitusi. Pengumuman itu mencantumkan nama unsur pimpinan Komisi III DPR, yakni Ketua Komisi III DPR Kahar Muzakir serta empat wakil ketua, yakni Trimedya Panjaitan, Desmond Junaidi Mahesa, Mulfachri Harahap, dan Erma Suryani Ranik.
”Sesuai dengan UU MK, prosedur yang harus dilewati dalam pencalonan sebagai anggota hakim MK adalah mengikuti pendaftaran terbuka. Semua orang yang merasa memenuhi persyaratan sebagaimana diatur di dalam UU MK dibolehkan mendaftarkan diri, termasuk dua hakim konstitusi yang saat ini masih menjabat dan ingin meneruskan pada periode jabatan kedua,” kata Desmond, saat dihubungi Minggu (13/1/12019) dari Jakarta.
Dengan ketentuan sesuai UU itu, menurut Desmond, dua hakim yang masih menjabat tidak bisa langsung mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) tanpa mendaftar terlebih dulu.
”Semua prosedur yang diatur di dalam UU MK tentang pemilihan hakim MK diikuti. Kalau ada pemberian keistimewaan itu nantinya akan menghilangkan hak-hak orang lain, dan memberikan privelege kepada hakim yang sudah ada. Pendaftaran ini bagian dari tahapan seleksi,” katanya.
Mekanisme ini sedikit berbeda dibandingkan seleksi yang diselenggarakan pada Maret 2018 ketika Arief Hidayat terpilih untuk termin kedua masa jabatan sebagai hakim konstitusi. Pada saat itu, Arief langsung mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang diadakan DPR. Arief yang ketika itu menjabat Ketua MK terpilih untuk masa jabatan kedua.
”Putusan soal mekansime seleksi ini kesepakatan dari 10 fraksi. Nanti akan kami rapatkan dulu mengenai dua hakim yang sudah menjadi hakim MK ini. Sebaiknya mereka mendaftar dulu karena hal itu diatur di dalam UU MK. Itu juga menjadi sikap dari Fraksi Gerindra,” urainya.
Tahapan seleksi sebagaimana dilakukan pada Maret 2018, menurut Desmond, cacat atau menyimpang karena tidak diumumkan secara terbuka terlebih dulu adanya pendaftaran hakim konstitusi. Tahapan dengan mengumumkan pendaftaran terbuka ini dianggap yang sesuai dengan UU MK.
DPR juga akan proaktif mengundang akademisi perguruan tinggi dan pakar-pakar hukum guna mengikuti seleksi hakim MK.
Selain menunggu pendaftaran dari masyarakat, DPR juga akan proaktif mengundang akademisi perguruan tinggi dan pakar-pakar hukum guna mengikuti seleksi hakim MK.
”Kami berharap orang yang menjadi hakim MK adalah mereka yang betul-betul memahami UUD 1945 sehingga produk-produk hukum yang dikeluarkan MK berkualitas,” ujarnya.
Tergantung DPR
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, UU MK mengatur mekanisme seleksi hakim MK dilakukan secara terbuka. Seluruh masyarakat yang merasa memiliki kesempatan atau berpeluang dan memenuhi syarat-syarat yang diatur UU dibolehkan mencalonkan diri.
”Mekanisme pengumuman terbuka ini juga dilakukan untuk mencari pengganti Prof Maria (Maria Farida Indrati) yang akhirnya mendapatkan Prof Enny (Enny Nurbaningsih), atau dulu saat mencari pengganti Patrialis (Patrialis Akbar) dengan terpilihnya Prof Saldi Isra. Jadi ini memang sudah menjadi tradisi yang baik, terutama dari hakim-hakim konstitusi yang dipilih oleh presiden. Hal yang serupa juga seharusnya dilakukan di DPR,” kata Bayu.
Kendati demikian, panitia seleksi yang dibentuk Komisi III DPR diharapkan tidak hanya diisi orang dari Komisi III, tetapi melibatkan juga para ahli dan akademisi. Harapannya, hakim terpilih akan relatif lebih bersih dari intervensi kepentingan politik.
”Percuma nanti kalau isi pansel hanya dari anggota Komisi III DPR sebab ruang terjadinya intervensi dan transaksi kepentingan partai politik akan tinggi. Pansel idealnya diisi orang-orang yang pernah menjadi hakim MK, atau mereka yang merupakan akademisi di kampus-kampus dan intens dalam kajian hukum tata negara,” katanya.
Panitia seleksi yang dibentuk Komisi III DPR diharapkan tidak hanya diisi orang dari Komisi III, tetapi melibatkan juga para ahli dan akademisi. Harapannya, hakim terpilih akan relatif lebih bersih dari intervensi kepentingan politik.
Terkait dengan kewajiban dua hakim konstitusi yang masih menjabat untuk mengikuti pendaftaran lagi untuk bisa ikut dalam seleksi, menurut Bayu, merupakan sesuatu wajar.
”Itu konsekuensi dari periodesasi masa jabatan hakim, berbeda dengan Austria dan Jerman, yang sampai pensiun, sehingga tidak perlu ada seleksi lagi. Pendaftaran itu pun tidak akan menurunkan wibawa mereka sebagai hakim MK. Tidak ada kaitan antara wibawa dan integritas hakim dengan mekanisme pendaftaran dalam seleksi,” urainya.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, pada prinsipnya, menurut UU MK, seleksi dilakukan secara terbuka dan transparan serta melibatkan partisipasi publik. Namun, bagaimana prinsip itu harus dijalankan tidak ada aturan yang detail di dalam UU. Mekanisme itu diserahkan kepada setiap lembaga pengusul, yakni DPR, presiden, dan Mahkamah Agung.
”Dalam hal ini tergantung kebijakan DPR sebagai lembaga pengusul. Apakah dua hakim ini harus mengikuti seleksi sejak awal ataukah tidak. Apabila dilihat dari pengumuman di media massa, keduanya juga ikut mendaftarkan diri. Namun, bagaimana riilnya mengenai itu, keputusannya berpulang kembali kepada DPR bagaimana mereka memperlakukan calon yang kebetulan saat ini menjabat hakim konstitusi,” ujar Fajar.