Impor Gula Tak Sebanding dengan Pertumbuhan Industri Makanan dan Minuman
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya impor gula mentah tidak berimbas kepada pertumbuhan industri makanan dan minuman. Impor gula meningkat, tetapi pertumbuhan industri makanan dan minuman justru melambat.
Gula mentah impor yang diolah menjadi gula rafinasi dikhawatrikan tidak terserap sepenuhnya ke industri makanan dan minuman. Hal itu bisa menyebabkan gula rafinasi bocor ke pasar konsumsi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, tingginya impor gula tidak berimbang dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pertumbuhan industri makanan dan minuman melambat dari 8,29 persen pada triwulan III-2017 menjadi 8,1 persen pada triwulan III-2018.
”Dengan adanya bahan baku yang cukup mendukung, yaitu impor gula mentah sebagai bahan baku gula rafinasi, seharusnya bisa mendorong pertumbuhan industri makanan dan minuman. Namun, yang terjadi malah sebaliknya,” kata Ahmad, di Jakarta, Senin (14/1/2019).
Pada 2018, pemerintah mengaloksikan impor gula mentah sebanyak 3,6 juta ton dan gula konsumsi 1,01 juta ton. Pada tahun ini, pemerintah memprediksi kebutuhan impor gula mentah pada 2019 sebanyak 2,8 juta ton.
Diskusi ”Manisnya Rente Impor Gula” yang diadakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Senin (14/1/2019).Ahmad menyatakan hal itu dalam diskusi ”Manisnya Rente Impor Gula” yang diadakan Indef. Diskusi tersebut dihadiri juga ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri dan ekonom Indef Rusli Abdullah.
Menurut Faisal, impor gula mentah mulai meningkat pada 2009, yaitu dari 1 juta ton pada 2008 menjadi 1,4 juta ton. Impor gula semakin meroket pada 2016 yang sebanyak 4,8 juta ton.
”Tingginya impor terus terjadi hingga 2018 dengan total 4,6 juta ton dan menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor gula terbesar di dunia,” ujar Faisal.
Data di portal statistik ”Statista” menunjukkan, pada kurun waktu 2017-2018, Indonesia menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia, yaitu mencapai 4,45 juta ton. Jumlah ini lebih tinggi dari China (4,2 juta ton) dan Amerika (3,11 ton).
Faisal menilai, tingginya impor gula mentah untuk kebutuhan industri tidak sebanding dengan kebutuhan industri. Kuota impor gula mentah yang diberikan Kementerian Perdagangan pada 2018 sebanyak 3,6 juta ton.
Sementara realisasi hingga semester I-2018 hanya 1,56 juta ton. ”Ini menggambarkan, industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan pemerintah,” ujarnya.
Sementara data BPS menunjukkan, pada 2013-2017, impor gula meningkat 7,91 persen. Selain itu, realisasi impor gula mentah pada Januari-November 2018 sebanyak 2,96 juta ton dari alokasi impor 3,6 juta ton hingga akhir 2018.
Tak hanya gula mentah untuk industri, pemerintah pun mengimpor gula mentah untuk konsumsi. Faisal mengatakan, jumlah impor gula mentah untuk konsumsi 1,01 juta ton pada 2018.
”Padahal, kebutuhan gula konsumsi, yang mencapai 2,7-2,8 juta ton per tahun, dapat dipenuhi dengan stok awal tahun dan produksi lokal,” katanya.
Hal itu juga sempat diutarakan Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen. APTRI berharap pemerintah harus cermat menghitung kemampuan produksi lokal.
”Stok awal tahun ini ada sekitar 1 juta ton. Stok ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat hingga April atau Mei 2019. Setelah itu, para petani dapat kembali menggiling tebu dengan jumlah produksi 2,1 juta ton,” kata Soemitro (Kompas.id, 10 Januari 2019)
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan, impor gula mentah itu berdasarkan kebutuhan. Sebab, dari sisi pasokan, jumlahnya tidak siap. Selain itu, kualitas gula dalam negeri juga tidak sesuai dengan kriteria yang diminta industri makanan dan minuman (Kompas, 11 Januari 2019).
Harga gula
Melalui dalih melindungi petani lokal dan produsen gula dalam negeri, pemerintah membedakan antara gula rafinasi untuk industri dan gula kristal putih untuk dikonsumsi masyarakat.
Faisal menilai, semestinya impor gula hanya untuk pemenuhan industri. Namun, dalam perkembangannya gula rafinasi juga digunakan untuk menstabilkan harga gula konsumen.
Selama 2017-2018, pemerintah baru dapat menekan harga gula di harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kilogram. Namun, jika dibandingkan harga gula dunia, harga ini tiga kali lipat lebih tinggi.
Ahmad menambahkan, dengan perbedaan harga gula yang tinggi, upaya stabilisasi harga tentu akan mahal jika menggunakan gula petani. Upaya ”potong kompas” kebijakan stabilisasi ini membuat gula petani sulit terserap.
”Rata-rata harga gula mentah dunia pada 2018 sebesar 0,28 dollar AS (Rp 4.000) per kg lebih murah dibandingkan harga domestik. Sementara harga pokok penjualan gula mentah Rp 9.700 per kg,” kata Ahmad.
Besarnya rentang harga antara yang diterima petani dan yang dijual ke konsumen memberikan gambaran bahwa keuntungan yang diterima produsen sangat besar.
”Jika sudah seperti ini, masyarakat sebagai konsumen harus membayar lebih mahal. Petani gula pun tidak menikmati ’manisnya’ harga,” ujar Ahmad.
Perbaiki sektor lokal
Sementara itu, Rusli mengatakan, pemerintah harus segera menyusun neraca gula yang akurat untuk memastikan ketersediaan gula sesuai dengan kebutuhan. Keberadaan neraca gula diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengelola pasokan dalam rangka meredam gejolak harga gula.
Selain itu, revitalisasi pabrik gula pemerintah pun perlu segera dilakukan agar produksi gula rakyat dapat lebih kompetitif dan efisien. Sebab, kondisi pabrik gula pemerintah saat ini cukup memprihatinkan, berada di bawah skala ekonomi.
”Dari 45 pabrik gula pemerintah, hanya 25 persen yang kapasitas produksinya di atas 4.000 ton per hari. Sementara 78 persen pabrik gula di Jawa telah berusia di atas 100 tahun sehingga sangat tidak kompetitif,” kata Rusli.
Maka, guna meningkatkan produksi gula nasional, diperlukan peningkatan luas areal perkebunan dan meningkatkan produktivitas usaha tani.
”Hal ini dapat dilakukan oleh para petani melalui peningkatan rendemen tebu. Sementara di tingkat pabrik, melalui peningkatan teknologi mesin giling,” ujar Rusli. (SHARON PATRICIA)