Kapasitas TPA dan Pengangkutan Sampah Masih Jadi Masalah di Daerah
JAKARTA, KOMPAS – Kapasitas Tempat Pemrosesan Akhir Sampah di Burangkeng Kabupaten Bekasi di Jawa Barat telah penuh atau mencapai maksimal. Di sisi lain, kapasitas pengangkutan baru mencapai 800 ton dari 2.400 ton sampah yang dihasilkan daerah itu.
Dengan kata lain, sampah sejumlah 1.600 ton “diselesaikan” sendiri oleh warganya. Sebagian kecil diserap bank sampah maupun pemulung serta sebagian besar dibakar hingga dibuang begitu saja di lahan kosong maupun sungai.
Tak heran hal ini membuat sampah menumpuk menutupi permukaan Sungai Tarumajaya atau Sungai Pisang Batu di Kabupaten Bekasi yang hilirnya berakhir di laut. Selain dari wilayah Bekasi, sampah-sampah itu pun diduga juga berasal dari Kota Bekasi yang dilintasinya (Kompas, 7 Januari 2019).
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar, Sabtu (12/1/2019), di Jakarta, mengatakan, beberapa waktu lalu telah mengundang dinas terkait di Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Bogor terkait permasalahan tersebut. Dalam kesempatan itu juga hadir dinas terkait dari Kota Serang untuk menjelaskan duduk perkara terkait hilangnya 3 orang akibat longsor sampah di TPA Cilowong, 1 Januari lalu.
Novrizal mengatakan, dalam pertemuan itu terungkap bahwa persoalan sampah yang menumpuk di Kali Pisang Batu berulang sejak lama. Selama bertahun-tahun, sampah di sungai tersebut mengalir ke laut.
Ia mengatakan, Kabupaten Bekasi memiliki masalah persampahan yang berat. Di bidang pelayanan publik mendasar berupa pengelolaan sampah, Kabupaten Bekasi hanya memiliki kapasitas layanan 800 ton per hari dari timbulan sampah 2.400 ton per hari.
“Sehingga kurang lebih 1.600 ton per hari pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat sendiri, salah satunya yang masuk ke badan sungai tersebut, yang selama ini akan terus hanyut ke laut,” kata dia.
Kondisi ini diperparah dengan kondisi TPA Burangkeng yang sudah berumur 21 tahun dan kapasitasnya sudah penuh. Luas TPA tersebut hanya 11,6 ha. Untuk memperluas TPA terkendala Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah mematok luas TPA hanya 11,6 ha. Ini membuat TPA tak bisa diperluas ke sekelilingnya sehingga dibutuhkan perubahan RTRW yang tak mudah.
Solusi sementara, untuk saat ini Pemkab Bekasi melakukan penimbunan sampah vertikal ke atas. Namun dengan tumpukan vertikal sebanyak 800 ton per hari hal ini sangat berbahaya karena menciptakan gunung sampah yang berpotensi longsor.
Sementara terkait penanganan sampah yang menutupi Kali Pisang Batu, laporan dari Pemkab Bekasi menyatakan, petugas sudah membersihkan sampah selama 10 hari dengan total sampah terangkat kurang lebih 1.000 ton. Persoalan baru, sampah dari Kali Pisang Batu tersebut ditempatkan di lahan terbuka yang bukan peruntukannya sehingga rawan menjadi sumber penyakit.
Dibakar di tungku bakar
Ia mengatakan, KLHK akan membantu mengatasi permasalahan ini dengan meminta bantuan industri semen. Sampah-sampah tersebut dimasukkan dalam tungku bakar (KILN) industri semen yang bersuhu tinggi lebih dari 1.200 derajat Celcius, untuk dihancurkan. Langkah serupa juga pernah dilakukan KLHK untuk menangani limbah medis beberapa waktu lalu (Kompas, 16 April 2018).
Novrizal mengatakan, permasalahan serupa bisa terjadi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dari jumlah timbulan sampah 2.600 ton hanya mampu tertangani 600 ton ke TPA. Sejumlah besar sampah “diselesaikan” oleh rumah tangga atau pun produsen penghasil sampah yang sebagian besar dibakar serta dibuang ke sungai/ditumpuk pada lahan-lahan kosong di luar peruntukannya. Angka rata-rata pengelolaan sampah secara nasional pun baru mencapai 40 persen.
Ia mengatakan, KLHK mendorong peningkatan kapasitas pemerintah daerah serta mengupayakan bantuan sarana-prasarana bagi daerah untuk meningkatkan layanan pengangkutan sampah. Dorongan kepada daerah ini pun distimulus dengan pengetatan program pemberian penghargaan Adipura yang dijadwalkan diberikan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Senin (14/1/2019) ini. Pengetatan tersebut dengan tak lagi memberikan penghargaan Adipura bagi daerah yang masih menggunakan metode TPA pembuangan terbuka (open dumping).
Di sisi lain, lanjut Novrizal, langkah ini perlu diiringi pengurangan sampah dengan melakukan sampah di sumber. Langkah ini katanya disiapkan berjalan sistematis melalui Kebijakan dan Strategi Daerah (Jakstrada) untuk pengelolaan sampah yang diamanatkan Presiden sejak tahun 2017. Hal ini diharapkan mampu mengarahkan daerah untuk mencapai pengelolaan sampah 70 persen dan pengurangan timbulan sampah 30 persen.
Diapresiasi
Terkait Jakstrada dan Jakstranas ini diapresiasi Kepala Divisi Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Margaretha Quina. “Sekalipun dengan berbagai catatan, diletakkannya pondasi awal kebijakan dan strategi pengelolaan sampah yang holistik melalui Jakstranas dan Jakstrada patut mendapatkan apresiasi,” kata dia.
Namun secara umum, ia melihat langkah kebijakan KLHK di tingkat pusat belum mendorong daerah dalam hal pengurangan sampah – terutama sampah plastik. Seperti pasca uji coba kantong keresek berbayar pada 2016, sebagian daerah bermunculan mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di ritel modern seperti di Banjarmasin, Banjarbaru, Balikpapan, Padang, Bogor, dan Denpasar.
Selain itu, peraturan pengurangan penggunaan kantong plastik di Bandung juga berlaku efektif di tahun 2018. Di tingkat provinsi, Bali melalui peraturan gubernur menjadi pionir yang membatasi penggunaan kantong plastik, styrofoam, dan sedotan plastik.
“Semua ini terjadi secara organik bersama masyarakat, tanpa adanya panduan resmi mengenai perumusan peraturan pengurangan sampah dari KLHK,” kata Quina.
KLHK sejak dua tahun ini merancang Peraturan Menteri LHK terkait pengurangan pemakaian plastik sekali pakai. Namun menunggu kebijakan Kementerian Keuangan yang akan memberikan cukai plastik pada kantong plastik.