JAKARTA, KOMPAS — Beberapa koalisi masyarakat sipil mengusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk menambah mekanisme debat calon presiden dan calon wakil presiden dengan pertanyaan lanjutan. Hal ini dinilai penting agar pemilih dapat mengetahui kompetensi setiap pasangan calon secara menyeluruh.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, Senin (14/1/2019), di Jakarta, mengatakan, format debat capres dan cawapres Pemilu 2019 berpotensi menjadikan acara ini sebagai acara tanya jawab biasa. Hal ini karena salah satu ketentuan debat yang mengatur pengiriman kisi-kisi pertanyaan pada setiap paslon.
Adanya pengiriman abstraksi pertanyaan kepada kedua paslon dinilai jauh dari tujuan debat publik untuk memberi pendidikan politik dan memberi persepsi penilaian kepada pemilih terhadap tiap calon. Hal ini juga berpotensi besar menghasilkan jawaban-jawaban yang normatif dan tidak menyentuh akar persoalan.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia menyarankan adanya tambahan mekanisme berupa pertanyaan lanjutan (follow-up question). Menurut dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara debat perlu memikirkan adanya sistem ini agar dapat mendalami jawaban yang disampaikan setiap paslon sehingga jalannya debat menjadi lebih terarah dalam segi respons.
Ketentuannya, moderator dapat menanyakan satu hingga tiga pertanyaan terhadap respons setiap calon. Pertanyaan yang disampaikan harus berdasarkan pendalaman yang rasional dari sebuah jawaban. Selain itu, pertanyaan ini juga dapat dirumuskan bersama dengan tim panelis.
”Dari daftar pertanyaan yang ada, moderator bisa memperkirakan pertanyaan lanjutan apa yang dapat ditanyakan kepada tiap paslon,” kata Fadli.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pertanyaan lanjutan yang diberikan moderator dapat memiliki efek positif kepada pemilih. Mereka dapat mengetahui kapasitas dan target setiap paslon terkait isu-isu yang dibahas dalam debat.
Menurut Feri, tambahan tata cara ini dapat mengarahkan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) pada salah satu paslon. Pemilih jenis ini umumnya menggunakan penampilan capres-cawapres dalam debat sebagai salah satu indikator untuk memastikan jagoan mana yang mereka pilih.
Feri menambahkan, KPU tidak perlu sepenuhnya bersepakat dengan tim sukses kedua paslon untuk melakukan perubahan ini. Tim sukses dapat dimintai pendapat tentang kebijakan ini, tetapi keputusan untuk memodifikasi mekanisme debat sepenuhnya berada di tangan KPU.
Fadli mengakui, adanya sistem ini memungkinkan terjadinya penambahan durasi debat. Ia mengatakan, keterbatasan waktu menjadi tanggung jawab KPU. Mereka dapat membahasnya dengan lembaga penyiaran, mengurangi beberapa segmen yang dinilai kurang penting, atau bahkan menambah durasi acara.
Beberapa waktu sebelumnya, anggota KPU, Wahyu Setiawan, menuturkan, belum ada rencana untuk mengubah format debat saat ini. Namun, kemungkinan untuk mengubah format debat berikutnya terbuka. Sebab, KPU bersama tim sukses dua pasangan calon akan mengevaluasi pelaksanaan debat pertama (Kompas, 10 /1/2019). (Lorenzo Anugrah Mahardhika)