Krisis Air, Ancaman (Selain Teror Taliban) bagi Warga Kabul
Oleh
RETNO BINTARTI
·3 menit baca
Baz Mohammad Kochi berdiri di pekarangan rumahnya di Kabul, Afghanistan. Ia mengawasi pengeboran sumur barunya sedalam 100 meter. Sumur miliknya yang ada, sudah tidak keluar air.
Kochi tidak sendirian. Banyak warga di ibu kota Afghanistan itu kini mengalami kesulitan air bersih. "Permukaan air turun drastis sehingga diperlukan cekungan baru di bawah tanah sampai 100 meter atau bahkan 120 meter,” kata Mohammad Aman, penggali sumur di Kabul.
Pertambahan penduduk yang terus meningkat, semakin langkanya hujan dan salju, membuat kota Kabul semakin kesulitan air. Setiap tahun dibutuhkan 80 juta kubik air yang disedot dari dalam tanah. Akibatnya, Wakil Direktur Bank Pembangunan Asia (ADB) Shanny Campbell, permukaan tanah dalam beberapa tahun terus berkurang.
"Masalah yang kita miliki di Kabul adalah peningkatan populasi yang besar, dampak perubahan iklim, dan kurangnya curah hujan serta salju,” kata Campbell.
Hanya sekitar 20 persen warga Kabul terhubung dengan sistem air pipa. Banyak penduduk kota itu ingin memastikan pasokan air untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan menggali sumur.
Air bukan hanya langka, tetapi kebanyakan juga tidak layak minum. Dinas Perlindungan Lingkungan Nasional menyatakan, sekitar 70 persen air tanah terkontaminasi oleh limbah dan bahan kimia yang merembes dari tempat penampungan limbah kotoran (septic tank) rumah tangga dan pabrik-pabrik industri. Hal ini mengakibatkan munculnya diare dan penyakit lain jika air tidak dimasak.
Perlu penanganan komprehensif
Persoalan air di Kabul agaknya akan semakin parah tanpa sebuah penanganan yang komprehensif. Penduduk kota itu saat ini berjumlah lima juta jiwa. Diperkirakan, jumlah itu akan meningkat menjadi delapan juta jiwa pada tahun 2050.
Air bukan hanya langka, tetapi kebanyakan juga tidak layak minum.
Sementara perilaku masyarakat dalam memperlakukan air masih sangat memprihatinkan. Banyak orang menggunakan air tanpa kesadaran seolah-olah air adalah sumber tidak pernah habis. "Dalam khotbah Jumat, kami meminta jemaah agar tidak memubazirkan air,” kata Abdul Raouf, anggota Dewan Ulama.
Shalat minta hujan telah dilakukan, bahkan juga oleh kelompok Taliban, yang selama ini bertempur melawan pasukan pemerintah Afghanistan dan pasukan NATO pimpinan Amerika Serikat.
Langkah jangka panjang perlu dilakukan. Namun, menghadapi krisis air, warga tidak bisa menunggu lama. Di antara sejumlah pilihan, ADB melakukan “penyebaran cekungan” atau membuat banyak kolam untuk menampung air hujan dan memurnikannya. Teknologinya tak tak terlalu rumit.
"Kabul dalam situasi stress air sehingga kami mencari solusi dengan dampak rendah, teknologi lebih murah yang bisa mengatasi masalah dengan segera,” kata Campbell.
Kabar tersebut sangat membesarkan hati Kochi. Meski air sudah menyembur di sumur barunya, dia sadar, air sumurnya akan bisa kembali mengering. "Kami selamat dari revolusi dan perang sipil, dari rezim Taliban serta serangan bunuh diri, tetapi kekurangan air ini bisa mendorong kami pergi. Tidak akan ada kehidupan tanpa air,” kata Kochi.