“Lubang Hitam” Bisnis Apartemen (2)
Tinggal di apartemen nyatanya tak semanis tawaran yang dijanjikan pengembang dalam brosur promosi. Sengkarut masalah seakan tidak ada habisnya, mulai dari kenaikan biaya iuran pemeliharaan lingkungan secara sepihak dari pengembang, biaya listrik dan air yang tidak transparan, keamanan yang tidak terjaga, hingga kepengurusan perhimpunan penghuni yang bermasalah. Sebagian besar penghuni tidak siap dengan kondisi itu.
Pengalaman itu pula yang dialami Adinda Djoko (39). Ia sudah sekitar 3 tahun tinggal di Apartemen Casablanca Mansion, Tebet, Jakarta Selatan. Selama ini, permasalahan pemeliharaan fasilitas apartemen, seperti lift, sering terjadi. Biaya iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) pun naik secara sepihak dari pengembang.
”Contoh lain, kalau ada gangguan listrik atau kamar mandi. Kami butuh tenaga teknisi dari mereka (pengembang). Biasanya jadi lebih mahal.Teknisi minta harga Rp 300.000 paling murah untuk sparepart (suku cadang). Sementara, beli sendiri harga Rp 75.000,” katanya.
Hal serupa juga dialami Claudia Bhara (25), pemilik salah satu unit di Apartemen Green Bay Pluit, Jakarta Utara. Setelah bukti perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) diberikan, sertifikat hak milik sarusun (satuan rumah susun) dan sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKGB) tidak juga diterbitkan.
”Sertifikatnya lama sekali terbit. Lebih dari satu tahun. Agen saya hanya bilang sedang diproses begitu,” ujarnya yang sudah lima tahun tinggal di apartemen tersebut. Persoalan lain adalah pengadaan tempat parkir. Pada awal perjanjian, ia sudah meminta slot parkir untuk satu mobil. Kenyataannya, lahan parkir yang disediakan tidak sesuai jumlah penghuni. Akhirnya, banyak mobil penghuni yang diparkir tidak teratur.
Keluhan pemilik apartemen tidak hanya muncul dari Adinda dan Claudia. Setidaknya, lebih dari 200 pengaduan terkait rumah susun ataupun apartemen diterima Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperkim) DKI Jakarta pada Januari-Juni 2018.
Disperkim mencatat, hingga Desember 2018, sebanyak 179 sarusun yang sudah berbadan hukum ada di DKI Jakarta. Dari jumlah itu, 84 sarusun berada di wilayah Jakarta Selatan, 49 sarusun di Jakarta Pusat, 22 sarusun di Jakarta Utara, 18 sarusun di Jakarta Barat, dan 6 sarusun di Jakarta Timur.
Kepala Bidang Pembinaan, Penertiban, dan Peran Serta Masyarakat Disperkim DKI Jakarta Melly Budiastuti mengatakan, klasifikasi pengaduan yang diterimanya antara lain lambatnya penyerahan unit, lamanya penyelesaian akta jual beli (AJB), ataupun sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS), serta konflik pembentukan P3SRS pengelolaan barang bersama serta milik bersama.
”Masalahnya itu, jika pada saat jual beli dilakukan, calon pemilik ini tidak membaca seluruh klausul yang ada di PPJB. Kalau, misalnya, ada gugatan, seperti tarif air dan listrik yang tidak transparan, tetapi sudah disetujui di PPJB, pemilik akan sulit menggugatnya,” ujarnya.
Peliknya permasalahan dalam bisnis apartemen juga terlihat dari jumlah pengaduan konsumen yang diterima Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Dari 277 pengaduan yang masuk pada Januari-Oktober 2018, 81,9 persen merupakan kasus terkait perumahan ataupun apartemen.
Dari pokok masalah yang diajukan, secara fiskal masalah apartemen biasanya mengenai pengenaan biaya pemecahan sertifikat, AJB, dan balik nama. Selain itu, penetapan IPL secara sepihak dan tidak transparan, penggabungan biaya tagihan air dan listrik dalam tagihan IPL serta pengembang yang ingkar janji terkait pembangunan fasilitas umum.
Intervensi
Melly mengungkapkan, berangkat dari berbagai permasalahan yang diterima terkait pengelolaan apartemen, pemerintah DKI pun menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik. ”Sepenuhnya peraturan ini berguna untuk melindungi masyarakat sebagai pemilik apartemen atau rumah susun,” katanya.
Dalam peraturan ini, salah satunya diatur terkait penyesuaian pembentukan pengurus P3SRS. Pengurus harus dipilih melalui pemilihan dari pemilik hunian apartemen. Jika sebelumnya, satu hunian memiliki hak satu suara. Pada aturan baru, satu pemilik unit memiliki hak satu suara. Artinya, pemilik yang memiliki banyak unit sekali pun tetap berhak atas satu suara.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun pun diatur bahwa P3SRS harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak serah terima unit sarusun dilakukan. Namun, pengembang justru memanfaatkan aturan ini dengan dalih belum semua unit terjual.
Menurut Melly, biasanya pengembang memanfaatkan celah aturan sebelumnya dengan tidak menjual seluruh unit hunian di apartemen tersebut. Dengan demikian, unit hunian yang belum terjual itu diatasnamakan pihak pengembang. ”Misalnya masih 50 persen unit yang belum dijual, berarti 50 persen suara ada di pengembang. Ada kecenderungan pengembang pun menempatkan pihak mereka untuk masuk dalam kepengurusan P3SRS ini,” katanya.
Padahal, P3SRS ini memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan dan perawatan apartemen. Tanggung jawab itu antara lain rincian penerimaan atas pemanfaatan dan pendayagunaan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama; rincian penerimaan atas pembayaran tagihan pemakaian listrik dan air bersama; serta penerimaan atas pembayaran tagihan listrik dan air dari pemilik ataupun penghuni.
Ia menambahkan, aturan ini mulai berlaku sejak Januari 2019. Jika dalam 3 bulan kepengurusan SP3SRS tidak disesuaikan dengan aturan tersebut, pemerintah akan memberikan surat peringatan pertama. Sanksi akan berlanjut pada surat peringatan kedua apabila selama tujuh hari berikutnya penyesuaian tidak juga dilakukan. ”Kalau tetap diabaikan, SK (surat keputusan) Gubernur untuk pengesahan pertelaan akan dicabut sehingga apartemen tersebut dianggap ilegal,” ujar Melly.
Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji mengapresiasi adanya peraturan gubernur tersebut. Aturan ini perlu ditaati semua pelaku yang terlibat dalam bisnis apartemen, khususnya pengembang.
”Sebelumnya saya sempat sampaikan agar masyarakat menunda pembelian apartemen karena banyaknya masalah yang ada. Namun, dengan aturan ini, calon pemilik tidak perlu khawatir karena hak dan kewajibannya terlindungi,” ucapnya.
Selain itu, perlindungan yang dijamin dalam aturan ini juga terkait keamanan dan kenyamanan penghuni. Ibnu menjelaskan, dalam aturan ini juga memastikan pegawai yang bekerja dalam pengelolaan bangunan memiliki sertifikat kompetensi profesi. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menghindari peristiwa kejahatan, seperti pembunuhan, peredaran narkoba, dan prostitusi di apartemen.
Ia menyebutkan, mulai dari petugas perawatan lift, listrik, air, dan petugas keamanan, seperti petugas satpam, telah tersertifikasi. ”Jadi seperti masalah keamanan yang bobol, juga mungkin lift yang sering rusak, karena tidak diperbaiki sesuai standar bisa teratasi. Kami pun siap mengawal agar aturan ini benar ditaati semua pihak,” kata Ibnu.
Kecenderungan tempat tinggal warga perkotaan, terutama di Ibu Kota, yang merujuk pada hunian vertikal atau rumah susun mendesak adanya aturan terkait perlindungan pemilik dan penghuni. Aturan baku dan jelas dibutuhkan, termasuk apa saja yang seharusnya ada dalam perjanjian pengikat jual beli (PPJB). Jika tidak, calon pemilik akan terjebak layaknya masuk dalam lubang hitam yang sulit keluar dari segala permasalahan yang ada.