JAKARTA, KOMPAS - Seluruh maskapai nasional yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia menyatakan telah menurunkan tarif tiket penerbangan. Keputusan ini ditempuh dengan memperhatikan keluhan masyarakat yang menilai harga tiket penerbangan domestik mahal.
Keluhan soal harga tiket pesawat antara lain diunggah melalui petisi di situs change.org. Namun, sejumlah pihak menilai kenaikan tarif menjadi salah satu upaya bertahan di situasi industri penerbangan yang kurang baik. Perang tarif selama ini juga berpotensi membawa ke situasi yang lebih buruk.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carrier Association/INACA), Ari Askhara di Jakarta, Minggu (13/1/2019) menyatakan, penurunan harga tiket telah berlangsung sejak Jumat (11/1/2019), antara lain untuk rute Jakarta-Denpasar, Jakarta-Yogyakarta, Jakarta-Surabaya, dan Bandung-Denpasar. "Penurunan (harga tiket) akan dilanjutkan untuk rute domestik lain," ujarnya.
Penurunan tarif berkisar 20-60 persen dan merupakan keputusan masing-masing maskapai. Tarif kembali normal seperti tahun 2018 seiring berakhirnya masa puncak Natal dan Tahun Baru yang dipercepat dari 14 Januari 2019 jadi 10 Januari 2019.
Direktur Utama Lion Air, Rudy Lumingkewas menyatakan, penurunan harga dilakukan untuk kursi subkelas tertentu yang jumlahnya 10-30 persen dari seluruh kursi yang ada. "Masyarakat juga sebaiknya tidak memesan tiket dalam waktu mendadak, karena kalau waktunya mepet, harga pasti mahal," kata Rudy.
Keputusan menurunkan harga tiket mendapat dukungan dari operator bandara, Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II, AirNav Indonesia, dan PT Pertamina (Persero). Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad Awaluddin mengatakan, pihaknya akan mengembalikan sebagian dari yang sudah dibayarkan oleh maskapai terkait pelayanan bandara.
Sementara Direktur Utama AirNav Indonesia, Novie Riyanto mengatakan, pihaknya akan menunda pengenaan kenaikan tarif layanan lalu lintas udara yang semula akan diberlakukan Januari 2019.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengapresiasi keputusan tersebut. "Tentunya langkah (penurunan tarif) ini telah diperhitungkan dengan matang. Penurunan tarif tiket dilakukan sesuai regulasi penerbangan nasional dan mengutamakan keselamatan," ujarnya.
Perang tarif
Sebelumnya, Budi Karya menilai bahwa secara umum kenaikan yang terjadi masih di bawah tarif batas atas. "Selama ini, maskapai cenderung perang tarif, jadi harganya lebih murah. Begitu ada penyesuaian ke harga normal, seolah-olah harganya menjadi tinggi," ujarnya.
Kenaikan tarif ditempuh maskapai sebagai salah satu cara bertahan di industri penerbangan. Menurut Budi, masalah yang lebih buruk akan muncul jika maskapai terus-terusan perang tarif. Sebab, mau tak mau maskapai harus menerapkan standar pelayanan minimal. "Kita harus melindungi industri penerbangan supaya tidak rugi terus karena tarif murah," tambah Budi.
Pengamat penerbangan Alvin Lie berpendapat, secara global industri penerbangan pada tahun 2018 berada dalam situasi sulit akibat kenaikan harga avtur. Jika tarif tidak dinaikkan, maskapai bisa terancam gulung tikar.
Soal tarif penerbangan domestik yang lebih mahal dari tarif penerbangan internasional, kata Alvin, dipicu oleh perbedaan harga avtur di dalam dan luar negeri. Selisih harga avtur di Indonesia dan Malaysia, misalnya, mencapai 20-30 persen.
Selain itu, pemerintah beberapa negara, seperti Singapura, memberikan insentif ke maskapai yang mau membuka rute langsung dari daerah baru menuju Singapura. "Insentifnya berupa biaya promosi 100.000 dollar AS per tahun. Hal itu dilakukan pemerintah Singapura untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke negaranya," ujarnya.
Ketua Pelaksana Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, keresahan masyarakat soal tarif penerbangan muncul karena saat ini penerbangan berbiaya hemat juga mengenakan biaya untuk bagasi. "Pemerintah harus memberikan insentif ke industri penerbangan agar tarif tetap terjangkau," ujarnya.