Partai Politik Didesak Berikan Sanksi Penyebar Hoaks
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah polisi meringkus penyebar berita bohong tentang tujuh kontainer surat suara dinilai sudah tepat. Namun langkah partai untuk memberi sanksi sosial dan politik terhadap anggotanya yang terlibat penyeberan berita bohong masih dinanti.
Anggota Staf Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, Dedy Helsyanto menyatakan, penyebaran kabar bohong di Indonesia bersifat fluktuatif. "Kabar bohong jauh lebih marak pada masa mendekati pilpres," ujarnya di Jakarta, pada Senin (14/1/2019),.
Menurut Dedy, hal itu dapat diartikan kabar bohong yang beredar saat ini memang sengaja diciptakan oleh simpatisan calon tertentu untuk menjatuhkan lawannya. Karena itu, ia mendesak agar partai politik dapat bersikap transparan mengakui anggotanya yang terlibat penyebaran kabar bohong.
Sanksi dari partai politik dinilai Dedy lebih efektif menangkal penyebaran kabar bohong daripada usaha polisi memblokir sejumlah akun media sosial atau pun situs web yang digunakan untuk menyebarkan kabar bohong. "Tanpa menggebuk otak pencipta kabar bohong, akun dan situs web yang diblokir dapat dengan mudah diciptakan kembali," katanya.
Tindakan penegak hukum memblokir akun media sosial dan situs web juga akan cenderung menciptakan citra pemerintah yang tidak demokratis. Persoalan membatasi penyebaran berita bohong di internet, menurut Dedy, lebih baik diserahkan saja pada pengelola platform.
Dua platform media sosial yang paling marak dihmgunakan menyebarkan berita bohong, yaitu Facebook dan Twitter, sudah memiliki algoritma memblokir postingan yang terindikasi hoaks. "Masalahnya algoritma itu bergantung pada laporan pengguna, sedangkan masyarakat Indonesia belum cukup peduli menangkal berita bohong," ucapnya.
Pada fase itulah peran elite politik mengedukasi para pendukungnya untuk menggunakan hak politik secara baik dan benar sangat dibutuhkan. Elite politik turut bertanggung jawab atas narasi negatif yang saat jelang pemilu ini memenuhi ruang publik.
Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, perilaku masyarakat mengikuti perkembangan informasi ditentukan pilihan sikap politiknya. Padahal yang ideal adalah, perkembangan informasi seharusnya berpengaruh terhadap preferensi politik seseorang.
"Ini sangat tidak sehat. Artinya, masyarakat sudah memilih untuk mempercayai semua informasi adalah benar jika mengungkan tokoh politik pilihannya," kata Dedy.
Yang lebih parah, kecenderungan masyarakat untuk tidak memilah dan mengkritisi informasi itu justru dinikmati kedua kubu yang akan bersaing pada Pilpres 2019. Pelaku maupun korban kabar bohong dinilai Dedy sama-sama menikmati keuntungan dari munculnya fenomena itu.
Peran media
Dihubungi terpisah, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan, media juga harus bersikap bijak agar tidak turut memperkeruh persoalan kabar bohong itu. "Media jangan memberi ruang bicara pada elite politik yang terindikasi menyebarkan kabar bohong," katanya.
Sanksi sosial terhadap penyebar kabar bohong bisa dijalankan juga oleh media. Dalam hal ini media berperan besar menjaga akal sehat pemilih Indonesia agar tak semakin dalam tercebur narasi negatif yang belakangan ini semakin marak.
Ia menyarankan, media agar lebih dulu memilah omongan elite politik sebelum mengutipnya. "Jangan hanya mengutamakan sensasi, karena itu justru akan menjebak masyarakat pada kedangkalan berpikir," ujarnya.
Adapun soal sanksi politik, Erwin mendesak partai politik agar segera mendepak kadernya yang terindikasi ikut menyebar kabar bohong. "Partai politik tak boleh membiarkan kader-kader semacam itu tetap ikut dalam persaingan merebutkan suara rakyat," ucapnya.(PANDU WIYOGA)