Rismaharini: Berdayakan Warga, Cerdaskan Kota
Surabaya berhasil menduduki peringkat pertama dalam penilaian Indeks Kota Cerdas Indonesia 2018 yang diadakan harian Kompas. ”Kota Pahlawan” ini mendapatkan skor tertinggi, yakni 67,03, pada kategori Metropolitan, mengungguli Semarang dan Tangerang Selatan.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Tri Rismaharini sesuai mendapatkan penghargaan Indeks Kota Cerdas Indonesia 2018 di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (9/1/2019) lalu.
Apa arti penghargaan dari Kompas ini untuk kota Anda?
Sebenarnya bukan penghargaannya. Penghargaan bagi saya bukan tujuan karena tujuan utama agar warga Surabaya sejahtera. Sebetulnya saya justru takut kalau dapat penghargaan seperti ini karena ini menjadi tantangan agar bisa lebih baik. Orang menilai Surabaya sudah bagus, padahal menurut saya itu belum. Masih banyak yang belum sesuai target. Untuk itu, kalau ada penghargaan seperti ini, saya justru akan semakin meminta staf saya bekerja lebih keras. Jadi beban penghargaan ini sangat berat bagi saya, sekaligus memacu agar lebih baik lagi dari yang sudah dicapai saat ini.
Dibandingkan penghargaan-penghargaan sebelumnya yang pernah kota Anda terima, adakah nilai khusus atas penghargaan ini?
Dari kriteria yang dipakai dari penilaian indeks (IKCI 2018) ini, untuk menganalisisnya itu sama dengan yang dipakai Kota Surabaya. Indikator dan kriterianya sama, yaitu indeks kota cerdas dari enam aspek, seperti lingkungan, mobilitas, pemerintah, ekonomi, masyarakat, dan smart living (kualitas hidup). Selama ini, indeks penilaian itu menjadi tolak ukur untuk kinerja kami. Jadi, aspek itu menjadi standar untuk melihat pendekatan apa yang kurang dan belum kami capai. Kalau tidak pakai standar ini, bisa kelepasan (target). Semua kami bagi per penduduk, misalnya dari dimensi lingkungan, treatment (perlakuan) apa yang harus dilakukan. Dari situ kami buat program kerja yang sesuai. Yang jelas kriteria dari penilaian ini bisa lebih dipertanggungjawabkan. Saya pun menggunakan kriteria itu untuk melihat apakah kebijakan yang saya lakukan sudah sesuai dengan teori.
Indeks penilaian itu menjadi tolak ukur bagi kinerja kami. Jadi aspek itu menjadi standar untuk melihat pendekatan apa yang kurang dan belum kita capai. Kalau tidak pakai standar ini, bisa kelepasan.
Program atau kondisi apa yang membuat kota Anda layak menerima predikat kota cerdas?
Aspek yang ditekankan dalam indeks (IKCI 2018) ini kan soal masyarakat. Itu juga yang menjadi perhatian utama kami. Itu juga yang mungkin membuat kami bisa mendapatkan penghargaan Lee Kuan Yew (penghargaan internasional dari World Cities Summit atas kesuksesan Pemerintah Kota Surabaya dalam memberdayakan warga lingkungan kampung) di Singapura tahun lalu.
Jadi, kekuatan Surabaya itu justru di masyarakatnya. Kalau bukan karena gerakan masyarakat, enggak mungkin Surabaya bisa seperti sekarang ini.
Jadi, kekuatan Surabaya itu justru di masyarakatnya. Kalau bukan karena gerakan masyarakat, enggak mungkin Surabaya bisa seperti sekarang ini. Misalnya saja, kami buat program di RW (rukun warga) untuk latihan nari. Ya, warganya yang mengelola, kami cuma bantu operasionalnya. Lalu, contoh lain ada pemeriksaan gula darah gratis setiap Minggu. Itu juga masyarakat yang mengelola, kami cuma mendatangkan ahli atau dokternya.
Awalnya memang tidak mudah untuk bisa menggerakkan masyarakat. Saya sendiri harus terus-menerus langsung terjun ke masyarakat. Bahkan, saya lebih sering ke luar (lingkungan masyarakat) daripada di kantor. Jadi memang komunikasi langsung ke masyarakat sangat dibutuhkan untuk menyukseskan kota cerdas di Surabaya.
Program apa ke depan yang akan menjadi prioritas? Kenapa program itu yang diambil?
Buat saya tidak ada prioritas (program kerja). Semua aspek itu sangat berkaitan. Enggak bisa satu program saja yang didahulukan, misalnya saja soal pendidikan. Tidak bisa kita hanya memprioritaskan pendidikan karena setelah anak lulus sekolah kita harus perhatikan nanti dia mau jadi apa. Saya harus pikirkan bagaimana dia bisa mengakses pekerjaan. Kemudian, setelah bisa kerja, bagaimana dia bisa mengakses perumahan. Karena itu, semua harus dikerjakan bersama tidak ada prioritas meskipun anggaran kami saat ini yang paling tinggi ada di pendidikan.
Namun, saat ini anak muda memang harus bisa akses pekerjaan sendiri karena kalau enggak (bekerja), mereka akan menjadi bom waktu bagi masyarakat karena akan menjadi penganggur. Dari situ, saya buat beberapa program, seperti boarding learning center yang menfasilitasi semua anak yang mau belajar matematika dan program Rumah Bahasa agar anak bisa belajar bahasa asing. Sekarang juga sudah ada lebih dari 1.400 perpustakaan di Surabaya. Kemudian, saya juga dorong produktivitas anak muda lewat program Pahlawan Ekonomi dan Pejuang Muda.
Baca juga: Penghargaan bagi 12 Kota Cerdas
Bagi publik di luar kota Anda, kenapa mereka harus berkunjung ke kota Anda? Adakah alasan khusus?
Yang jelas, Surabaya nyaman. Survei juga menyebutkan, Surabaya adalah salah satu dari 10 kota metropolitan di dunia yang aman. Kota Surabaya juga indah. Berbagai taman kota tersedia. Kami juga ada taman khusus untuk lansia dan taman paliatif untuk pasien kanker. Ada tenaga ahli yang didatangkan juga untuk melayani masyarakat. Di Surabaya juga tidak banjir jadi nyaman. Untuk pelayanan dan kenyamanan, kami juga sediakan 1.900 titik free Wi-Fi.
Adakah agenda khusus untuk memastikan pencapaian yang lebih baik lagi pada tahun ini dan tahun depan?
Saat ini yang ingin saya targetkan adalah mengurangi tingkat daya beli rendah masyarakat. Dulu pada 2010, saat saya pertama kali menjabat sebagai Wali Kota Surabaya pada periode pertama, tingkat daya beli masyarakat masih 34 persen. Saat ini sudah turun menjadi 5 persen. Nah, 5 persen ini yang akan dikejar agar bisa diturunkan lagi. Saya rasa, 5 persen ini dari masyarakat lansia, miskin, dan gangguan jiwa. Jadi, sekarang saya pikirkan bagaimana mereka bisa mengakses ekonomi dengan lebih baik.
Awalnya, saya mau buat dana pensiun untuk hari tua, tetapi aturannya tidak memungkinkan hal itu. Jadi, sekarang inilah yang masih dicari dan dipikirkan agar mereka bisa mengakses pekerjaan sehingga angka 5 persen itu (daya beli rendah) bisa dikurangi. Selain itu juga dari sisi mobilitas, tahun 2019 ini ditargetkan 250 kilometer jalan yang dibangun bisa selesai. Sekarang kurang sekitar 2 kilometer lagi. Jadi hampir selesai.
Berapa alokasi APBD di Surabaya agar bisa menjalankan program kota cerdas itu?
Kami punya anggaran pada 2018 itu Rp 9,4 triliun. Serapannya mencapai 92 persen. Saya juga heran dengan anggaran tersebut bisa mencukupi semua kebutuhan di Surabaya. Kami setiap hari memberikan makanan gratis untuk lebih dari 29.000 penduduk, misalnya bagi lansia, orang dengan HIV/AIDS, dan juga penderita kanker yang tidak mampu. Selain memberikan makanan gratis setiap hari, ada juga tambahan makanan bergizi empat kali setiap bulan. Di posyandu juga kami berikan makanan tambahan secara gratis. Sejumlah taman pun setiap minggu kami lengkapi dengan pemeriksaan gratis, mulai dari pemeriksaan gula darah, kolesterol, dan asam urat. Ada dokter juga yang siap melayani.
Kunci pemanfaatan anggaran itu ada di pengelolaan. Semua saya buat transparan dan terukur lewat teknologi elektronik sehingga bisa dipantau targetnya, juga tidak ada main uang.
Menurut saya, kunci pemanfaatan anggaran itu ada di pengelolaan. Semua saya buat transparan dan terukur lewat teknologi elektronik sehingga bisa dipantau targetnya, juga tidak ada main uang. Kami pun berikan tambahan pendapatan bagi pejabat pemkot (pemerintah kota) berdasarkan indeks penilaian kerja, termasuk supir saya. Kalau bisa mencapai target dan hasilnya dilaporkan akan dapat realisasinya 85 persen dari pendapatan. Ini bisa memicu kerja dan meminimalisasi korupsi. Semua itu jelas pakai sistem elektronik.