JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah terus membenahi sistem peringatan dini, mitigasi bencana, serta memperluas pendidikan kebencanaan. Alat-alat pendeteksi bencana pun akan diperlakukan seperti “objek vital nasional” dan dijaga personil TNI.
Dalam rapat terbatas Senin (14/1/2019) di Kantor Presiden, Jakarta, Presiden Joko Widodo meminta supaya sistem peringatan dini betul-betul dievaluasi dan dicek. Semua alat deteksi dalam kondisi berfungsi sehingga korban bencana bisa diminimalkan.
Ratas tak hanya dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Kepala BNPB Doni Monardo, tetapi juga Menteri Riset dan Teknologi M Nasir, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, serta Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Doni mengatakan alat deteksi bencana banyak yang tidak berfungsi akibat solar cell atau aki-nya hilang. Alat-alat deteksi bencana ini seperti buoy alat deteksi tsunami. Karenanya, diusulkan supaya alat-alat deteksi bencana diperlakukan seperti “objek vital nasional” dan diamankan unsur TNI.
“Kalau tidak ada yang mengamankan, sebanyak apapun akan hilang atau tidak berfungsi, baik karena faktor cuaca dan manusia. Tadi Presiden juga sudah menugaskan Panglima TNI agar mengeluarkan surat tugas dan mengamankan alat-alat ini,” tutur Doni.
Adapun alat-alat yang sudah ada akan diperbaiki. Untuk wilayah-wilayah yang dianggap rawan bencana, akan dipasang juga alat-alat deteksi bencana lainnya. Titik-titik yang dianggap memerlukan alat ini akan dilakukan mengikuti rekomendasi para pakar. Secara umum, daerah yang memerlukan alat deteksi tsunami ini antara lain di Selat Sunda, kawasan timur dan selatan Pulau Jawa, dan kawasan barat Pulau Sumatera.
Diharapkan, pengadaan dan pemeliharaan alat deteksi tsunami ini rampung dalam 3 bulan. Adapun payung hukumnya termasuk anggaran pemeliharaan alat dipelajari segera.
Sesar aktif
Terkait wilayah-wilayah sesar aktif atau patahan yang sudah ditemukan para ahli dan melintasi permukiman padat, pemerintah mendapatkan paparan para ahli yang menyebutkan penurunan permukaan tanah dapat dideteksi. Namun, kapan gempa dan longsor terjadi, tentu hal itu tak bisa ditentukan.
Untuk itu, pemerintah juga segera bekerja sama dengan para pakar dan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota dan Ketua RW/RT untuk memberikan tanda peringatan. “Tidak ada niat untuk menimbulkan kepanikan, tapi semata menyampaikan ke semua masyarakat bahwa kita hidup di cincin api dan patahan lempeng sehingga setiap saat bisa terjadi tsunami dan gempa,” tutur Doni.
Setidaknya, masyarakat lebih waspada dengan tanda peringatan yang disiapkan pemerintah. Selain itu, lanjut Doni, ketika pakar menyebutkan ada potensi bencana, pemerintah tentu akan menyarankan evakuasi.
Untuk memastikan kesiapan manajemen bencana, Presiden juga meminta koordinasi dan sinergi antarlembaga baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, relawan, PMI, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga donor harus baik. Simulasi penanganan bencana perlu dilakukan secara berkala, berkesinambungan, dan rutin.
Selain itu, edukasi kebencanaan juga sudah bisa dilaksanakan akhir Januari ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diminta menyelesaikan persiapannya. Masyarakat-masyarakat daerah rawan juga perlu mendapatkan pendidikan kebencanaan.
Rekonstruksi dan rehabilitasi
Presiden juga meminta supaya Kepala BNPB mengawal rehabilitasi dan rekonstruksi di Lombok NTB, Palu dan Donggala Provinsi Sulawesi Tenggah, serta Banten dan Lampung. “Kawal implementasinya agar segera bisa diselesaikan terutama yang di NTB dan Sulteng, baru ke Lampung dan Banten,” tutur Presiden.
Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi menjelaskan, untuk di NTB, sejauh ini sudah Rp 2,962 triliun anggaran pembangunan rumah rusak ringan, sedang, dan sebagian rumah rusak berat yang sudah tiba di rekening masyarakat. Alokasi itu untuk 139.957 keluarga. Adapun anggaran pembangunan rumah yang sudah ada di BNPB mencapai Rp 3,5 triliun.
Untuk Sulteng, lanjut Dody, rencana aksi sedang disusun dan hunian sementara (huntara) dikerjakan. Sejauh ini sudah 200 unit huntara yang setiap huntara bisa digunakan 12 keluarga rampung. Dalam dua bulan mendatang diperkirakan pembangunan huntara selesai.
Agus Gumiwang menambahkan, rumah-rumah yang dibangun di wilayah NTB diutamakan tahan gempa. Untuk desainnya, masih ada fleksibilitas sepanjang mudah dan cepat dibangun.