Tak Ada Visi Misi Penanganan Kerusakan Lingkungan dari Peserta Pemilu
Oleh
Nikson Sinaga
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Isu lingkungan hidup sangat minim dibicarakan pada masa kampanye pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Padahal, Indonesia tengah menghadapi ancaman kerusakan lingkungan seperti banyaknya spesies kunci di Indonesia yang terancam punah, perambahan hutan, penanganan sampah plastik, serta kerusakan ekosistem sungai dan danau.
”Tidak ada visi dan misi yang spesifik yang diutarakan pasangan calon presiden, calon legislatif, maupun partai politik dalam menghadapi persoalan kerusakan lingkungan hidup,” kata ahli ekologi satwa liar WWF Indonesia Sunarto dalam diskusi bertema ”Kampanye Mencegah Perdagangan Ilegal Satwa Liar” di Medan, Sumatera Utara, Senin (14/1/2019).
Sunarto berharap topik lingkungan hidup masuk menjadi materi dalam debat calon presiden dan calon wakil presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum.
Sunarto pun menyayangkan sikap para kandidat yang hingga kini lebih mengutamakan isu-isu populer. ”Para kandidat akhirnya hanya mengedepankan isu populer agar dapat mendulang suara lebih banyak,” kata Sunarto.
Menurut Sunarto, hal penting untuk dibicarakan adalah komitmen untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Revisi undang-undang tersebut sudah beberapa kali masuk dalam program legislasi nasional, tetapi belum kunjung dibahas.
Padahal, menurut Sunarto, revisi UU No 5/1990 sangat mendesak di tengah kian tingginya tekanan lingkungan hidup di Indonesia.
”Kondisi populasi satwa tahun 1990 sangat berbeda dengan saat ini. Semakin banyak populasi satwa yang terancam punah karena perburuan, perdagangan, dan kerusakan habitat,” ujarnya.
Sunarto mengatakan, laju kepunahan berbagai spesies penting di Indonesia meningkat setiap tahun. Namun, ancaman hukuman penjara dan denda dalam UU No 5/1990 masih termasuk rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera pada pelaku kejahatan lingkungan yang melakukan secara terorganisasi.
Ancaman yang dihadapi satwa mulai dari perburuan dan kerusakan habitat di kawasan inti, konflik di kawasan penyangga, hingga perdagangan satwa di perkotaan.
”Empat spesies kunci di Sumatera, yakni orangutan sumatera, gajah sumatera, harimau sumatera, dan badak sumatera semua kondisinya terancam punah. Kalau tidak ada tindakan, satwa ini akan punah di alam liar,” kata Sunarto.
Deforestasi
Menurut data WWF Indonesia, laju deforestasi di Sumatera dan Kalimantan pun terus meningkat. Pada 1985, luas tutupan lahan hutan alam di Sumatera 58 persen dari luas pulau atau 25,3 juta hektar. Namun, tahun 2016, luas hutan hanya 24 persen atau 10,4 juta hektar.
Di Kalimantan, tahun 2005, luas hutan alam 70 persen dari luas pulau atau seluas 52 juta hektar. Namun, pada 2015, tutupan hutan jadi 53,9 persen dari luas pulau atau 40 juta hektar. Laju deforestasi itu didominasi alih fungsi hutan jadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, dan area pertambangan.
Duta WWF Chicco Jerikho mengatakan, setiap orang harus berperan menjaga satwa dari ancaman kepunahan. ”Setiap orang bisa berkontribusi dengan tidak membeli, mengonsumsi, atau memelihara satwa dilindungi,” ujar Chicco.
Chicco mengajak masyarakat agar sadar bahwa bumi bukan hanya milik manusia, tetapi rumah bagi makhluk hidup lainnya. Karena itu, ia mengajak semua pihak berperan dalam pelestarian lingkungan hidup yang dimulai dari diri sendiri.