Awal tahun ini, pengguna pesawat terbang Lion Group harus merogoh kocek lebih dalam untuk bagasi bawaannya. Pasalnya, Lion Air dan Wings Air kini hanya menggratiskan bagasi kabin 7 kilogram (kg). Jika lebih dari bobot itu, penumpang harus membayarnya.
Tak hanya Lion dan Wings yang menerapkan bagasi berbayar. Citilink Indonesia pun akan menerapkannya. Penumpang mungkin agak gusar dengan aturan baru ini. Sebab selama ini gratis hingga kadang tidak peduli dengan banyaknya barang bawannya. Bahkan sering terjadi sebagian penumpang menghabiskan jatah penumpang lain. Buntutnya harus ada barang yang dipindah ke bagasi. Keberangkatan pesawat pun terlambat.
Sebenarnya, penerapan bagasi berbayar adalah hal yang diperbolehkan bagi penerbangan berbiaya murah (no frill). Sesuai dengan marwahnya, penerbangan berbiaya murah membebaskan penumpangnya untuk membeli layanan yang dibutuhkan. Apabila dia tidak butuh layanan, seperti memilih tempat duduk, bagasi, makanan, dan hiburan, mereka tak perlu membayar layanan itu. Hal itu membuat harga tiket penerbangan berbiaya murah lebih rendah dibandingkan penerbangan dengan layanan penuh (full service).
Akan tetapi, karena selama ini maskapai berbiaya murah, seperti Lion Air, Wings Air, dan Citilink Indonesia, membebaskan bagasi di bawah 20 kg, penumpang merasa layanan itu sudah menjadi hak mereka. Padahal, layanan itu hanya bagian dari strategi bisnis yang bisa berubah setiap saat.
Saat bisnis penerbangan diterpa situasi yang tak pasti, perubahan strategi bisa dimaklumi. Maskapai terus dihadapkan pada tantangan yang besar, apalagi maskapai domestik.
Mereka mendapatkan penghasilan dalam rupiah, tetapi kewajibannya dalam bentuk dollar AS, seperti membayar sewa pesawat, avtur, dan suku cadang, apalagi saat nilai tukar dollar AS terus menguat. Sementara maskapai tidak bisa sembarangan menaikkan harga karena harga tiket ditentukan pemerintah dengan penerapan tarif batas atas dan tarif batas bawah.
Dalam kondisi yang sangat ketat, maskapai mencari sumber-sumber pendapatan baru. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) bahkan beberapa kali menyatakan, margin keuntungan maskapai di dunia hanyalah sekitar 3 persen.
Kondisi itu yang membuat sejumlah maskapai tumbang. Baru-baru ini, misalnya, Sriwijaya Air juga menyatakan diri bergabung dengan Garuda Indonesia Group untuk membantu dirinya membenahi masalah keuangan.
Di luar negeri, Pemerintah Hong Kong sedang diminta mencari jalan keluar apabila Hong Kong Airlines menghentikan layanannya saat Imlek nanti. Isu yang beredar di media lokal, Hong Kong Airlines kesulitan keuangan dan beberapa pejabat tingginya mengundurkan diri.
Mungkin ada yang bilang bahwa memang tidak menguntungkan, kenapa bisnis penerbangan terus dijalankan? Bisakah dibayangkan dunia tanpa penerbangan saat ini? Kita memang punya alternatif transportasi lain. Namun, butuh berapa lama untuk mencapainya? Apalagi di daerah pedalaman yang sulit dijangkau.
Bagi maskapai, menaikkan tarif tiket bukanlah hal menguntungkan. Sebab, jika terlalu mahal, harga tiket tidak akan terjangkau masyarakat. Namun, jika terlalu murah, pendapatan maskapai tidak akan cukup menutup biaya operasional.
Maskapai juga tidak bisa menerapkan harga tinggi di rute-rute gemuk. Mereka harus bersaing dengan maskapai lain, termasuk maskapai asing yang bisa jadi biaya operasionalnya lebih murah. Sementara pemerintah tidak bisa ikut campur terlalu jauh di sisi bisnis.
Yang diatur pemerintah hanya tarif batas bawah dan tarif batas atas. Selebihnya, maskapai sendiri yang menentukan.
Sudah pasti maskapai akan mengikuti hukum ekonomi. Jika permintaan banyak, sementara pasokan sedikit, pasti harga tinggi dan sebaliknya.
Ada hal-hal yang tidak bisa dibuat murah. Kita toh tidak mau melihat maskapai-maskapai rontok karena yang akan dirugikan adalah kita sendiri. Pertumbuhan ekonomi juga akan tersendat karena tidak ada alat akselerasi.
Sebaiknya kita mulai melihat kepada diri sendiri, mulai bijak menentukan mana yang kita butuhkan, mana yang sesuai dengan kemampuan. Pemerintah telah membangun infrastruktur dan menyiapkan berbagai sarana transportasi. Bijaklah dan jangan terus mengeluh.