Identitas Lokal dan Persoalan Transportasi, PR Pengelola Kota yang Belum Tuntas
Oleh
Irene sarwindaningrum
·5 menit baca
Menjadi kota cerdas sesuai konsep Boyd Cohen tentunya dibutuhkan pengelola kota yang mampu menelurkan kebijakan pelayanan publik yang memadai dalam segala aspek. Namun, hingga kini, kota-kota di Indonesia bahkan belum bisa dikatakan telah mampu memahami identitas ciri khas lokalnya dan mengelolanya sebagai sumber daya untuk membangun wilayahnya.
Ketua Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah Institut Teknologi Bandung Ridwan Sutriadi, yang juga juri IKCI 2018, mengatakan, kendala sebuah kota berkembang menjadi kota cerdas pertama-tama karena belum berhasilnya sebuah kota mengembangkan atau menciptakan identitas ciri khas lokal yang bisa menjadi dasar pengembangan kota untuk mempunyai daya saing di tingkat nasional hingga internasional.
Identitas lokal ini penting untuk dasar pengembangan sebuah kota menjadi kota mandiri dan berdaya saing tinggi. Untuk merumuskan identitas lokal ini, terdapat beberapa langkah. Salah satunya adalah mengenali dahulu basis ekonominya, bisa jadi basis jasa, basis sektor primer, industri, atau berbasis teknologi informasi dan komunikasi hingga berbasis kecerdasan buatan. Selain itu, identitas lokal itu juga harus sustainable atau bisa berkelanjutan.
Tantangan untuk mengembangkan smart city adalah kedekatan dengan kota yang jauh lebih besar. Kota satelit dari kota yang jauh lebih besar bisa menjadi terlalu tergantung pada kota besar sehingga tak mampu berkembang mandiri.
Fenomena ini terlihat di beberapa kota di sekitar DKI Jakarta. Kendati mempunyai potensi besar dan akses yang baik, kota-kota itu tak berkembang karena terlalu bergantung pada Jakarta sebagai kota induknya.
Ada kota yang banyak warganya bekerja di Jakarta, kota itu sendiri belum mengembangkan ciri khasnya yang sesuai dengan basis ekonominya untuk berkembang.
Ia mencontohkan Cimahi yang harus bersaing dengan Bandung yang sudah berkembang jauh lebih besar. Saat itu, Cimahi mendeklarasikan diri sebagai Cimahi Cyber City. Konsep ini terus dikembangkan, salah satunya dengan membuat gedung Baros Cimahi Cyber City yang membuat Cimahi menarik bagi komunitas kreatif.
Di sini, peran Pemerintah Kota Cimahi sangat besar karena memberikan pancingan atau sebagai inisiator untuk mengawali pengembangan itu. Namun, transformasi menjadi kota cerdas ini tak hanya bersumber dari pemerintah daerah. Transformasi bisa datang dari konsultan, warga, ataupun transformasi dari dalam kalangan internal di ASN sendiri.
Pakar tata kota dari Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengatakan, saat ini konsep smart city masih jauh dari konsep pengembangan kota-kota umumnya di Indonesia. ”Karena tata kelola kota sendiri sebenarnya belum cukup duduk. Jadi kalau yang dasar saja belum, diisi dengan teknologi, jadi belum tercapai,” katanya.
Tata kota kota cerdas seharusnya diawali dari pemerintah yang cerdas diikuti dengan warga yang cerdas yang dibantu dengan teknologi. Untuk itu, harus dimulai dari sumber daya manusia di pemerintahan daerah.
Ia menyoroti pentingnya partisipasi antara kalangan terdidik dan kreatif suatu kota dengan pemerintah daerahnya. Kalangan terdidik dan kreatif ini bisa berasal dari universitas di kota tersebut.
Namun, sejumlah kota yang mempunyai universitas di daerahnya sendiri tak terjadi kolaborasi tersebut. ”Seharusnya kolaborasi datang dari kedua belah pihak, dari pemerintah daerah dan pihak universitas pun seharusnya menawarkan. Namun, banyak perguruan tinggi yang seperti republik sendiri di kota tempatnya ada. Ini, menurut saya, kelemahan terbesar tak terbentuknya kerja sama di sana,” katanya.
Menurut Suryono, lokalitas atau identitas lokal sebuah kota dibangun dengan kerja sama pihak-pihak yang ada di wilayah tersebut. Bukan saja dikembangkan dengan konsep proyek yang bersifat sementara. Perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat memegang peran penting menjembatani antara pemerintah dan warga.
Partisipasi masyarakat yang dilibatkan melalui teknologi juga menjadi modal dalam pengembangan smart city. Warga juga dapat ikut mengawasi jalannya pemerintahan dengan teknologi. Aplikasi ini, misalnya, pernah cukup berhasil dengan aplikasi Qlue di DKI Jakarta.
”Konsep smart city adalah bagaimana teknologi informasi membantu mempercepat transformasi sebuah kota. Dari sisi paling dasar adalah akses mudah untuk perizinan dan keterbukaan data. Di level paling tinggi adalah sustainability yang membuat sebuah kota berkelanjutan dengan teknologi. Di Jakarta, misalnya, sudah ada aplikasi Trafi sebagai pemandu untuk transportasi umum,” katanya.
Transportasi
Peneliti Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, yang menjadi juri IKCI 2018 dari sisi mobilitas mengatakan, dari sisi transportasi, rata-rata kota-kota di Indonesia belum memadai memenuhi konsep smart city.
”Dari sisi fisik, sudah ada kota yang bagus dengan teknologi tinggi. Tapi dari sisi transportasi, nyaris belum ada kota yang mencerminkan transportasi yang smart city,” katanya.
Konsep smart city dari sisi transportasi ini adalah kota yang sudah memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda, menyediakan angkutan umum massal, hingga integrasi angkutan umum massal.
Menurut Deddy, sebuah kota yang sistem transportasi sudah mencerminkan konsep cerdas ini adalah warga tidak lagi berpikir menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Kendala utama adalah sebagian besar kota di Indonesia, desain sistem transportasinya memang belum mengutamakan angkutan umum massal. Hal ini tidak saja menyediakan angkutan umum massal, tetapi juga infrastruktur secara rinci untuk integrasi, hingga pada cekungan di jalan untuk perpindahan moda hingga pada atap di jalur pejalan kaki atau akses yang memudahkan pejalan kaki untuk menghubungkan perpindahan antarmoda transportasi.
Kendala besar lainnya adalah belum adanya sistem makro untuk transportasi modern. Sistem yang dimaksud dimulai dari kebijakan pemerintah pusat ataupun daerah yang diwujudkan dengan rancangan pembangunan jangka menengah hingga regulasi yang mendukung.