JAKARTA, KOMPAS — Meski ekspor nonmigas Indonesia ke China tumbuh pada 2018 dibandingkan 2017, impor nonmigas naik lebih tajam sehingga mengalami defisit. Namun, Indonesia masih dapat meraih surplus perdagangan dengan Amerika Serikat.
”Pada 2018, ekspor nonmigas ke China mencapai 24,39 miliar dollar AS atau meningkat 14,25 persen dibandingkan 2017. Sementara ekspor nonmigas ke Amerika Serikat mencapai 17,67 miliar dollar AS atau meningkat 3,14 persen pada periode yang sama,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Paparan ini disampaikan dalam konferensi pers terkait rilis Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Tahun 2018 oleh BPS. Suhariyanto menyampaikan, ekspor ke China didominasi bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani atau nabati, serta besi dan baja. Mayoritas barang yang diekspor ke Amerika Serikat adalah pakaian, aksesori, dan karet.
Meskipun ekspor nonmigas mengalami pertumbuhan, jika dibandingkan dengan impor nonmigas, perdagangan Indonesia dengan China masih defisit. Untuk perdagangan dengan China, Indonesia defisit 20,85 miliar dollar AS.
Sementara dengan Amerika Serikat, Indonesia mengalami surplus 8,57 miliar dollar AS. Namun, jika dilihat lebih jauh, pertumbuhan ekspor dengan Amerika Serikat tergolong lambat, hanya 3,14 persen.
Jika neraca perdagangan dengan China dan AS digabungkan, Indonesia masih mengalami defisit 12,28 miliar dollar AS.
”Impor dari China masih didominasi mesin atau peralatan listrik, mesin atau pesawat mekanik, serta besi dan baja. Sementara impor dari Amerika Serikat didominasi mesin atau pesawat mekanik, biji-bijian berminyak, dan kapas,” kata Suhariyanto.
Secara terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal menyampaikan, volume ekspor nonmigas memang meningkat hingga 13,5 persen pada 2018. Namun, nilai ekspor dalam dollar AS hanya tumbuh 6,25 persen.
Tren pelambatan ekspor memang tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara-negara tetangga. Sepanjang periode Januari-November, pertumbuhan ekspor Vietnam melambat, dari 22 persen pada 2017 menjadi 13 persen pada 2018, Thailand melambat dari 10 persen menjadi 7 persen, dan Filipina malah terkontraksi -1 persen (2018).
Pelambatan pertumbuhan ekonomi global dan efek perang dagang Amerika Serikat dan China sudah mulai membawa pengaruh terhadap terhadap pertumbuhan ekspor, termasuk negara-negara berkembang.
Bagi Indonesia, tekanan global terhadap ekspor terutama terlihat sejak Agustus 2018 dengan pertumbuhan ekspor rata-rata di bawah 5 persen.
”Masalahnya, pelambatan ekspor Indonesia ini diperparah dengan peningkatan impor secara tajam, yang tidak terjadi negara-negara tetangga yang lain. Saat impor Indonesia tumbuh 22 persen, Vietnam hanya tumbuh 11 persen, Filipina 16 persen, dan Malaysia hanya 5 persen,” kata Faisal.
Dalam menghadapi pelambatan ekonomi, Bank Dunia pun mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini, dari 3 persen jadi 2,9 persen. Dalam laporan Prospek Ekonomi Global 2019 yang dirilis Bank Dunia, Rabu (9/1/2019), situasi ekonomi global ”semakin suram”.
Sebab, aktivitas manufaktur dan perdagangan internasional melambat, ketegangan perang dagang meningkat, dan mayoritas negara berkembang mengalami tekanan signifikan di pasar keuangan (Kompas, 10 Januari 2019).
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga sempat menyampaikan hal serupa. Dalam konferensi pers awal tahun 2019 pada 10 Januari 2019, Enggartiasto mengatakan, perekonomian global akhir-akhir ini melambat 3,7 persen, termasuk Amerika Serikat (2,5 persen), Jepang (0,9 persen), dan China (6,2 persen).
Pada tahun 2019, Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas tumbuh 7,5 persen dibandingkan tahun lalu atau menjadi 175,9 miliar dollar AS. Sejumlah strategi dilakukan melalui misi dagang, perjanjian internasional, dan peningkatan beberapa komoditas utama.
Melihat kondisi ini, Faisal mengatakan, tantangan kinerja perdagangan di tahun 2019 masih sangat besar. Menurut dia, faktor-faktor eksternal yang menekan ekspor pada tahun 2018 masih akan dirasakan pada tahun 2019, khususnya pelambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama dan sentimen perang dagang.
”Menghadapi persoalan ini, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor nontradisional sehingga ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar,” kata Faisal. (Sharon Patricia)