BANDA ACEH, KOMPAS — Upaya menurunkan jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh berjalan lambat. Meski anggaran daerah setiap tahun meningkat, jumlah penduduk miskin masih tinggi. Hal ini menunjukkan program pembangunan belum sepenuhnya dinikmati warga kecil.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Wahyudin dalam konferensi pers di Banda Aceh, Selasa (15/1/2019), mengatakan, dari data survei terbaru yang mereka lakukan September 2018, jumlah penduduk miskin di Aceh 15,68 persen, turun sebesar 0,24 persen dibandingkan dengan September 2017 sebesar 15,92 persen.
”Persentase antara September 2018 dan September 2017 turun. Namun, dari sisi jumlah naik sekitar 1.700 orang karena pertambahan penduduk lebih tinggi daripada penurunan penduduk miskin,” kata Wahyudin.
Pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf (nonaktif) dan wakilnya, Nova Iriansyah, menargetkan angka kemiskinan turun 1 persen setiap tahun. Saat mereka dilantik pada Juli 2017, angka kemiskinan 16,68 persen. Targetnya, pada 2022 angka kemiskinan di Aceh tersisa 11,68 persen.
Melimpahnya Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA), dana desa, dan dana lainnya, kata Wahyudin, manfaatnya kurang dirasakan warga kecil. Pada 2018, APBA sebesar Rp 15,14 triliun dan tahun 2019 naik menjadi Rp 17 triliun. ”Namun, anggaran daerah lebih banyak dinikmati elite,” lanjutnya.
Kenaikan harga bahan makanan dan perumahan menjadi pemicu besar terhadap kemiskinan. Di samping itu, kebutuhan rokok, bensin, dan listrik juga mendongkrak angka kemiskinan.
Penduduk miskin dominan berada di pedesaan. Warga di pedesaan minim tersentuh pembangunan, seperti terlihat di Desa Meulidi, Tampur Paloh, Tampur Bor, dan HTI Ranto Naro, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, yang hingga kini masih terisolasi. Satu-satunya akses menuju desa itu harus melalui sungai dengan menumpang perahu kayu. Tidak ada jaringan listrik, sinyal telepon tidak terjangkau, dan minim fasilitas kesehatan.
Warga di daerah itu bekerja sebagai petani. Mereka menanam padi dengan mengandalkan air hujan. Sebagian bertani karet, tetapi untung yang didapat sedikit lantaran biaya angkut yang mahal. Sebagian warga memilih menjadi pembalak liar di hutan.
Potret kemiskinan juga ditemukan di Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Pembangunan di pulau terluar ini juga minim. Layanan kesehatan dan pendidikan belum memadai. Transportasi pun hanya mengandalkan pelayaran rakyat yang minim fasilitas keselamatan.
Kepala Biro Ekonomi Provinsi Aceh Amirullah mengatakan, saat ini APBA menjadi andalan bagi pemerintah untuk menekan angka kemiskinan. Persoalannya, lebih separuh dari anggaran daerah dihabiskan untuk belanja rutin operasional pemerintah dan gaji pegawai.
”Investasi dan industri di Aceh sangat minim. Kalau hanya mengandalkan APBA, tentu pemerintah kesulitan membangun,” ujar Amirullah.
Secara nasional, provinsi terbarat itu menduduki peringkat keenam penduduk miskin di Indonesia dan peringkat pertama di Pulau Sumatera. Urutan provinsi termiskin di Indonesia adalah Papua (27,43 persen), Papua Barat (22,66 persen), Nusa Tenggara Timur (21,03 persen), Maluku (17,85 persen), Gorontalo (15,85 persen), Aceh (15,68 persen), dan Bengkulu (15,41 persen). Adapun secara nasional jumlah penduduk miskin di Indonesia 9,66 persen.
Secara nasional, provinsi terbarat itu menduduki peringkat keenam penduduk miskin di Indonesia dan peringkat pertama di Pulau Sumatera.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Rustam Efendi, mengatakan, target menurunkan angka kemiskinan 1 persen per tahun tidak realistis karena angka beranjak dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya tidak pernah tercapai sebesar angka 1 persen.
”Penurunan angka kemiskinan di Aceh berjalan lambat. Pada 2010, jumlah penduduk miskin sebesar 21,61 persen. Artinya, selama tujuh tahun rata-rata penurunan sebesar 0,67 persen per tahun. Tidak realistis apabila ditargetkan 1 persen per tahun,” tutur Rustam.
Namun, lanjutnya, jika setiap tahun dapat dikurangi 0,5 persen saja sudah cukup baik, yang penting setiap tahun ada progres. ”Jika program-program tidak tepat sasaran, target itu akan susah dicapai,” ucap Rustam.
Kepala Divisi Hukum dan Politik Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Baihaqi mengatakan, perilaku koruptif aparatur pemerintahan menyebabkan pembangunan tidak berjalan. Pada 2018, MaTA mencatat, nilai kerugian keuangan negara karena korupsi di Aceh sebesar Rp 399 miliar.
”Nilai kerugian kasus korupsi 2018 di Aceh setara dengan 4.984 unit rumah layak huni. Jika uang itu dipakai untuk pembangunan rumah bagi warga miskin, tentu lebih bermanfaat,” ujar Baihaqi.