JAKARTA, KOMPAS— Tinggi rendahnya skor pada indeks kota cerdas takkan berarti jika tidak memacu semangat pengelolaan kota-kota menjadi cerdas yang inklusif. Bagaimana pengelola kota memahami identitas dan potensi lokal, lalu mengelolanya secara tepat bersama masyarakat, akademisi, dan swasta menjadi tantangan besar.
Menurut hasil Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI)-Kompas 2018, kota-kota pemenang di empat kategori belum memperoleh nilai maksimal. Hal itu memperlihatkan masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah kota yang telah dinilai berdasarkan enam dimensi cerdas versi Boyd Cohen.
Ketua Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah Institut Teknologi Bandung Ridwan Sutriadi, yang juga juri IKCI-Kompas 2018, Minggu (13/1/2019), mengatakan, kendala sebuah kota berkembang menjadi kota cerdas, pertama-tama karena belum berhasil mengembangkan atau menciptakan identitas lokal. Ciri khas ini bisa menjadi dasar pengembangan kota untuk mempunyai daya saing nasional hingga internasional.
Guna merumuskan identitas lokal ini, ada sejumlah langkah. Salah satunya mengenali basis ekonominya, basis jasa, sektor primer, industri atau teknologi informasi, hingga kecerdasan buatan. Setelah itu, tahap eksekusi yang tak kalah berat.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, jika berbicara tentang konsep kota cerdas lebih luas, masih banyak yang perlu dikejar oleh penghuni peringkat kedua kota cerdas kategori Kota Metropolitan itu, terutama penguatan Semarang sebagai tujuan wisata. Tingginya minat berwisata di kota itu belum diikuti penyediaan informasi yang cukup.
Di Kota Salatiga (peringkat kedua IKCI 2018 Kota Sedang), pemerintah kota masih berjuang mewujudkan layanan berbasis teknologi informasi agar lebih baik, cepat, dan transparan. ”Saat ini, hal itu sudah dimulai di sejumlah organisasi perangkat daerah, tetapi belum terkoneksi satu sama lain,” ujar Wali Kota Salatiga Yulianto.
Diawali pemerintah
Dosen tata kota dari Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengatakan, konsep kota cerdas masih jauh dari konsep pengembangan kota-kota umumnya di Indonesia. ”Tata kelola kota sebenarnya belum cukup,” katanya.
Tata kota untuk mewujudkan kota cerdas seharusnya berawal dari pemerintah, yaitu sumber daya manusia di pemerintahan daerah. Namun, tetap diperlukan keterlibatan pihak lain.
Ia menyoroti pentingnya partisipasi kalangan terdidik dan kreatif suatu kota dengan pemerintah daerahnya. Kalangan itu bisa dari universitas di kota itu. Namun, di sejumlah kota dengan universitas tak terlihat kolaborasi tersebut.
”Seharusnya kolaborasi datang dari dua pihak. Namun, banyak perguruan tinggi yang seperti republik sendiri di kota tempatnya berada. Hal ini merupakan kelemahan terbesar dari tidak terbentuknya kerja sama di sana,” katanya.
Menurut Suryono, lokalitas atau identitas lokal sebuah kota dibangun lewat kerja sama para pihak. Hal itu tidak bisa dikembangkan dengan konsep proyek bersifat sementara.
Kerja sama antarpihak menjadi langkah awal mewujudkan kota cerdas yang inklusif. Inklusivitas antara lain ditandai leburnya sekat-sekat perbedaan warga atas dasar apa pun.
Di Tangerang Selatan, inklusivitas masih berat diwujudkan. Peringkat ketiga IKCI 2018 Kota Metropolitan itu dinilai belum menjadi kota cerdas yang inklusif. Kota Tangsel masih didominasi peran pengembang kawasan permukiman baru dan pusat bisnis. Muncul kesenjangan dengan masyarakat penghuni kawasan yang bukan dibangun pengembang besar.
Studi Vesselinov dan Cazessus (2007) di Amerika Serikat menyimpulkan, permukiman realestat, yang disebut sebagai komunitas berpagar, mempertegas ketimpangan sosial di masyarakat. Realestat yang dibangun pengembang didominasi warga berpendidikan tinggi, sedangkan permukiman biasa didominasi warga tanpa gelar.
Permukiman berpagar juga identik dihuni orang dengan pekerjaan tetap, mapan, dan berpenghasilan tinggi. Ada jarak dengan warga luar kompleks.
Sesuai diskusi IKCI, kota cerdas terus bertumbuh. Salah satu tantangan pengelola kota adalah mengikis kesenjangan di tengah masyarakat.
(IRE/PIN/E03/DIT/DIA/HRS)