Kisah Tragis Pencuri Kawakan
Jika pencuri adalah jenis profesi yang dapat dicantumkan dalam curriculum vitae, Aam Abdul Rizik (32), Nurhayati (29), Riski Pratama (29), dan Ono Carsono (29) sudah tergolong berpengalaman. Mereka adalah maling kawakan dengan ide brilian yang sudah membobol berbagai rumah mewah di Depok, Bekasi, dan Tangerang Selatan. Namun sial, "karier" mereka berujung dengan bogem massa di seberang kantor polisi.
“Selama satu tahun terakhir, mereka sudah tujuh kali beraksi dengan modus yang sama. Setelah kami geledah indekosnya, ditemukan juga beberapa buah jam tangan bernilai sekitar Rp 5 juta yang diduga berasal dari aksi sebelumnya, sebab mereka tidak punya pekerjaan,” kata Kepala Kepolisian Resor Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan, Senin (14/1/2019) di Markas Polres Tangerang Selatan, Banten.
Setelah membobol rumah kosong dengan sebuah linggis di klaster Sutera Olivia, Alam Sutera, Serpong Utara, Tangerang Selatan, Selasa (8/1/2019) lalu, komplotan itu kembali lagi dengan Toyota Fortuner sewaan serta pelat nomor polisi yang sama. Kali ini menuju klaster Sutera Onyx. Pakaian rapi nan perlente dikenakan agar terlihat seperti pemilik rumah yang mayoritas dari kelas menengah atas.
Belum lagi melewati gerbang klaster, petugas keamanan (satpam) mencoba mencegat mereka. Rupanya, pergerakan mereka telah terekam kamera pengintai (CCTV) di pos klaster Sutera Olivia. Rekaman tersebut telah disebar ke semua satpam.
Merasa penyamarannya terbongkar, Riski di kursi kemudi segera tancap gas melarikan diri. Para satpam mengejar. Di Jalan Sutera Utama, mobil sewaan itu menabrak palang portal, kemudian menghantam Toyota Camry di seberang kantor Kepolisian Subsektor Alam Sutera. Mobil itu ringsek bersama rencana brilian mereka menyaru kalangan elite demi hasil garong.
Dihajar massa
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Satpam, pengemudi, petugas parkir, dan warga sekitar lain segera menghampiri, kemudian melempari mobil yang telah hancur itu dengan batu, sebagian memukulnya dengan helm. Beberapa di antara mereka, menarik tersangka keluar mobil.
Tersungkur di aspal setelah kecelakaan, Aam harus menelan hantaman pentung satpam, helm warga, dan cone jalan. Riski, Ono, dan Nurhayati tak bernasib lebih baik. Semua itu terjadi di seberang kantor polisi. Warga hadir untuk mengabadikan momen tersebut melalui gawainya.
Di Markas polisi, Aam membenarkan pengalamannya. “Dihajar warga,” ujarnya singkat. Mereka terpaksa memakai mobil yang sama karena hanya itu mobil yang ada di persewaan.
Mata kanan Aam hitam bonyok, ada pula bekas luka mendatar di pipi kiri. Nurhayati, yang juga istri Aam, menahan isak; Riski dan Ono tertunduk diam menyembunyikan luka di wajah sambil menahan malu. Saat ditanya mengapa tidak menuntut keadilan, ia tidak menjawab, kemudian pergi seiring ditutupnya jumpa pers.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangerang Selatan AKP Alexander Yurikho mengatakan, para polisi datang untuk menghentikan penghakiman massa. Sesuai pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, ia membenarkan semua orang, termasuk tersangka, berhak diperlakukan adil di depan hukum. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Meski demikian, para polisi—yang melihat jelas dan terang di depan bahwa terjadi tindak pidana pengeroyokan serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM)—tidak menarik serta para pengeroyok, mungkin karena ada ratusan orang di sana. Padahal, pengeroyokan tergolong tindak pidana yang diatur Pasal 351 dan 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan dan Kekerasan. Pelaku terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun.
Menurut Alexander para tersangka yang sudah tak berdaya di tangan massa itu seharusnya melapor. Itulah, kata dia, satu-satunya cara memberikan keadilan bagi korban bulan-bulanan massa.
“Gini, gini, gini, kalau saya punya mobil terus dicuri Pak Agam (anggota Reserse Mobil Polres Tangerang Selatan). Terus saya bilang, ‘Ya sudah lah enggak apa-apa, mobil saya banyak’, terus gimana? Dia (tersangka) yang digebukin, ya dia yang buat laporan, lah ! Kalau lapor, nanti kita cari orangnya. Jangan kita disuruh cari tersangka tanpa korban,” katanya dalam nada tinggi.
Tak seperti mobil yang bisa dimiliki dalam jumlah banyak, nyawa manusia hanya satu. Pada 2017, MA (30) dikeroyok lalu dibakar hidup-hidup hingga tewas di Desa Hurip Jaya, Babelan, Kabupaten Bekasi, karena dituduh mencuri amplifier masjid (Kompas, 4 Agustus 2017). Bedanya dengan komplotan di Alam Sutera, MA tidak terbukti mencuri.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Amiruddin mengatakan, masyarakat Indonesia masih belum menyadari pentingnya menghormati hak manusia untuk bebas dari penyiksaan. Seseorang yang melanggar hukum pun tetap memiliki hak dasar yang harus dihormati.
“Gimana mereka mau lapor kalau sudah babak belur? Itu ngaco. Justru polisi punya tugas menegakkan hukum terhadap orang yang menganiaya orang lain, terlepas dari ada laporan atau enggak. Pengeroyokan itu termasuk pidana umum, tidak perlu laporan,” kata Amiruddin.
Pengajar studi perdamaian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ayu Diasti Rahmawati mengatakan, main hakim sendiri atau vigilantisme terjadi karena pengertian tentang penghormatan HAM belum dimengerti semua warga. Pengeroyokan tersebut juga menunjukkan ketidakpuasan akan sistem hukum yang berlaku.
Ayu menilai, kepolisian sebagai penyedia kemanan melakukan pembiaran sehingga terjadi amuk massa serta ketidaktertiban. “Satpam yang ikut mengeroyok adalah bagian dari warga (sipil). Mereka hanya tenaga keamanan, bukan penegak hukum,” ujar Ayu.
Selama 2018, Polres Tangerang Selatan menerima 1.205 laporan kasus kriminal dan menyelesaikan 68,71 persen di antaranya. “Dalam konteks supremasi hukum, semua permasalahan sosial harusnya bisa diselesaikan dengan baik dan adil. Lalu, apa penjelasan terhadap penyelesaian 32 persen sisanya?” kata Ayu.
Sebelumnya, Alexander mengatakan, kriminalitas tidak dapat dicegah. Justru, kriminalitas akan membantu peradaban manusia berkembang. “Crime is the shadow of civilization. Kejahatan akan selalu berada di depan mata kita,” kata dia.
Mitigasi
Untuk memitigasi vigilantisme, Ayu menekankan pentingnya pendidikan. Membangun kesadaran HAM melalui pendidikan memang sangat lambat prosesnya, namun, jika berhasil, cara tersebut memilik efek berkelanjutan.
Ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak menjadi penonton (bystander) saat melihat kekerasan. “Pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan agar mereka melerai pengeroyokan, bukan menonton, merekam video, dan menyebarkannya,” kata Ayu.
Untuk menegakkan penghormatan HAM, termasuk terhadap pelaku kejahatan, Amiruddin mengatakan, Satuan Pembina Masyarakat (Satbinmas) kepolisian perlu membangkitkan kesadaran hukum masyarakat. Sementara itu, masyarakat juga perlu menyadari adanya proses hukum yang berlaku di Indonesia. “Maling memang menjengkelkan, tapi untuk itulah ada aparat penegak hukum,” kata dia.
Aam, Nurhayati, Riski, dan Ono memang bersalah. Mereka meraup untung besar dari kesalahannya. Namun, ada cara yang lebih baik untuk mengadili mereka selain baku hantam. Keadilan bisa sangat jauh, nun jauh di seberang jalan. (Kristian Oka Prasetyadi)