Menanti Imajinasi Capres soal Pemberantasan Korupsi
Pada Selasa subuh, 11 April 2017, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, disiram air keras. Matanya hampir buta. Novel kemudian diterbangkan ke Singapura untuk dirawat di sebuah rumah sakit sana demi menyelamatkan matanya.
Teror keji terhadap penyidik KPK memang bukan pertama kali terjadi, tetapi sudah berulang kali. Bahkan, menurut Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, sudah ada sembilan teror terhadap KPK. Teror terhadap Novel mengundang reaksi keras dari sejumlah elite negara ini.
Presiden Joko Widodo bersuara keras dan menilai serangan terhadap Novel adalah tindakan brutal dan tidak beradab. ”Jangan sampai orang yang memiliki prinsip seperti itu dilukai dengan cara tidak beradab. Kekerasan seperti itu tidak boleh terulang lagi,” kata Presiden Joko Widodo seperti dikutip Kompas, 12 April 2017.
Wakil Presiden Jusuf Kalla melihat teror terhadap Novel merupakan bentuk perlawanan balik dari mereka yang terusik karena KPK mengusut kasus-kasus korupsi besar.
”Ada indikasi mereka yang menyiram Novel dengan air keras dibayar oleh koruptor besar,” kata Kalla.
Pimpinan KPK pun mempunyai cara pandang yang sama. ”Kami pastikan KPK tidak akan surut dan terpengaruh oleh teror itu,” kata Agus Rahardjo, Ketua KPK. Sementara Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, ”Upaya perlindungan dan mitigasi untuk risiko akan kami lakukan secara saksama. Tentu bekerja sama dengan kepolisian,” kata Laode.
Ada indikasi mereka yang menyiram Novel dengan air keras dibayar oleh koruptor besar
Para elite dan petinggi negeri ini menjenguk Novel. ”Buat anak-anak saya di KPK, jangan takut. Maju terus. Tuhan beserta kita,” kata mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan, Novel sudah dibuntuti selama dua pekan terakhir. Novel sempat menunjukkan foto orang yang membuntutinya.
Wakil Ketua DPR Taufik Kuniawan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) juga ikut berkomentar. ”Teror terhadap Novel diharapkan tidak membuat KPK takut mengungkap dan memberantas kasus korupsi,” kata Taufik.
Dukungan politik untuk mengungkap kasus Novel sudah lebih dari cukup. Namun, realitas politik menunjukkan hampir dua tahun kasus Novel belum pernah terungkap.
Desakan sejumlah pihak agar Presiden Jokowi membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) juga terus hanya menjadi wacana. Bahkan, teror terhadap KPK berlanjut dengan ditemukannya bom di rumah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, 9 Januari 2019.
Satgas kasus Novel
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian membentuk tim beranggotakan 65 orang, termasuk Kapolri sendiri, untuk mengungkap kasus Novel. Dari 65 orang itu terdapat pula tokoh luar, yaitu Prof Dr Indriyanto Seno Adji, Prof Hermawan Sulistyo, Prof Amzullah Rivai, Hendari, Poengky Indarti, Ifdhal Kasim dan sejumlah nama lain. Tim Satuan Tugas itu diberi waktu enam bulan dari 8 Januari 2019 hingga 7 Juli 2019.
Publik tentunya berharap satgas itu bisa mengungkap pelaku penyiram air keras terhadap Novel.
KPK hidup dari teror ke teror. Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo menyebut teror terhadap pimpinan KPK adalah teror kesembilan yang pernah dialami lembaga antirasuah itu. Namun, menariknya, tidak satu pun teror terhadap KPK yang diungkap Polri.
Teror terhadap KPK adalah ancaman nyata terhadap pemberantasan korupsi. KPK adalah lembaga yang dipercaya publik untuk memberantas korupsi di negeri ini. Secara politik serangan terhadap KPK berulang kali muncul dari para politisi DPR. Dari upaya menempatkan KPK sebagai lembaga adhoc, melemahkan KPK, menggunakan hak angket untuk melemahkan KPK, sampai mengkriminalkan penyidik dan pimpinan KPK.
Lalu di mana posisi Presiden?
Posisi itulah yang seharusnya menjadi salah satu fokus bahasan dalam debat capres yang mengambil tema ”Hukum, HAM, Terorisme dan Korupsi” pada Kamis, 17 Januari 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta.
Korupsi adalah ancaman nyata republik ini. Korupsi bisa membuat limbung sebuah negara jika pimpinan negara tak bisa mengatasinya. Tidak mudah memberantas korupsi di negeri ini.
Ibarat sebuah perang, korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangkan. Pemberantasan korupsi mendapatkan serangan balik dari para koruptor, termasuk teror terhadap KPK.
Ibarat sebuah perang, korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangkan.
Ancaman terhadap KPK harus menjadi tema bahasan dalam debat capres. Sebagai petahana, Presiden Jokowi tentunya bisa menjelaskan posisi dan moral politiknya untuk membela dan melindungi KPK. Sebagai tokoh yang berasal dari daerah dan politisi baru di kancah elite Jakarta, Presiden Jokowi lebih punya keleluasaan politik untuk menegaskan posisi politiknya terhadap KPK dan strategi besar pemberantasan korupsi.
Begitu juga dengan calon Presiden Prabowo Subianto. Tidak cukup hanya dengan mengidentifikasi korupsi di Indonesia sudah masuk stadium empat, tetapi apa yang mau dilakukannya, jika Prabowo-Sandiaga Uno terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.
Strategi besar pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan jawaban normatif, ”akan mengutamakan pencegahan”, ”akan memasukkan pendidikan antikorupsi di kurikulum”, ”memperkuat sinergi lembaga penegak hukum”, ”akan memperkuat KPK”, retorika itu terlalu klise.
Jangan sampai pula, agenda pemberantasan korupsi hanya melahirkan ”industri antikorupsi” atau ”industri konsultan antikorupsi”. Kedua program antikorupsi itu, menurut Bryane Michael dan Donald Bowser dalam buku Korupsi karya Herry Priyono (2018), melibatkan dana sekitar 5 miliar dollar AS pada 2009.
Retorika-retorika itu tak cukup ampuh lagi memberantas korupsi. Koruptor tahu bahwa genderang perang melawan korupsi hanya omong kosong. Koruptor memahami, tidak ada keseriusan memberantas korupsi karena kita semua hidup dari ekonomi korupsi. Anatomi korupsi sudah jelas di mata KPK. Mayoritas korupsi adalah suap! Dimulailah dari suap di sektor-sektor tertentu.
Pandangan skeptis para koruptor itulah yang harus dijawab capres secara konkret oleh para capres. Misalnya, akan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) setelah terpilih sebagai presiden.
Selain itu, memerintahkan semua pejabat mendeklarasikan dan membuktikan semua asal muasal kekayaannya, melakukan amnesti setelah deklarasi, mencabut hak politik terhadap setiap pejabat korupsi, menyita semua aset milik koruptor, memberlakukan satu orang, satu KTP, satu akun bank, dan memerintahkan semua transaksi keuangan melalui perbankan.
Tapi apakah itu akan dilakukan para capres atau hanya jawaban normatif yang akan kita dapatkan? Kita tunggu saja Kamis, 17 Januari 2019.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tiga Belas Isu soal Pemberantasan Korupsi
1. Mayoritas tindak pidana korupsi adalah penyupan (62%).
2. Tindak pidana korupsi paling banyak dilakukan di lingkup pemerintah pusat.
3. Tindak pidana korupsi berdasarkan instansi adalah pemerintah pusat.
4. Tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan adalah DPR/DPRD sebanyak 229 orang.
5. Kewajiban pelaporan harta kekayaan baru 63,78 persen:
Tingkat kepatuhan eksekutif 66.01 persen
Tingkat kepatuhan yudikatif 48,03 persen
6. Nilai kerugian negara akibat korupsi tahun 2001-2008 tak sebanding dengan nilai hukuman finansial. Kerugian Rp 67,55 triliun, nilai hukuman finansial 2,64 triliun.
07. Sebanyak 47,2 persen nilai korupsi diselewengkan di Jawa.
08. Sebanyak 98,5 persen uang korupsi terjadi di Jabodetabek.
09. Ada kesenjangan antara ancaman hukuman maksimal dan vonis hakim. Rata-rata vonis penjara 2-3 tahun, padahal UU Korupsi memberikan ancaman hukuman empat tahun, 20 tahun, hingga seumur hidup.
10. Mayoritas koruptor tak merasa bersalah dan tertangkap KPK karena apes.
11. Wacana pelemahan KPK.
12. Kejahatan korupsi korporasi.
13. Vonis korupsi belum menghadirkan efek jera.
(Sumber: Disarikan dari acch.kpk.go.id, buku Korupsi Mengorupsi Indonesia, 2009)