Model Promosi Laktasi Dapat Jadi Panduan Perusahaan
Oleh
Madina Nusrat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu penyebab rendahnya pemberian air susu ibu eksklusif oleh ibu yang bekerja di sektor publik itu adalah minimnya dukungan dari perusahaan tempatnya bekerja. Meski sudah ada aturan pemerintah mengenai laktasi, perusahaan belum memiliki petunjuk teknis di lingkungan kerja.
Untuk menjawab persoalan itu, Ray Wagiu Basrowi membuat model promosi laktasi di lingkungan kerja yang ia tuangkan dalam disertasinya berjudul ”Model Promosi Laktasi di Tempat Kerja: Perancangan Model dan Efektivitasnya pada Kesehatan dan Produktivitas Pekerja”.
Model promosi laktasi hasil penelitiannya itu ia presentasikan untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
”Perusahaan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Pihak perusahaan biasanya gamang karena tidak tahu model penerapannya seperti apa, sementara cuti melahirkan hanya tiga bulan,” kata Ray.
Model promosi laktasi di tempat kerja yang dibuat Ray terdiri dari tujuh dimensi utama. Pertama, kebijakan perusahaan. Perusahaan harus memberi kebijakan khusus untuk pekerja perempuan yang menyusui anaknya. Pekerja perempuan diberi pilihan bekerja paruh waktu atau dapat pulang lebih cepat selama enam bulan, sesuai waktu ideal pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.
Selain itu, perusahaan juga perlu membuat kebijakan berupa pendampingan penyuluhan laktasi secara rutin. Tujuannya agar ibu bayi memiliki pemahaman memadai mengenai ASI eksklusif dan laktasi secara umum. Perusahaan juga perlu membatasi kerja lembur dan dinas ke luar kota atau luar negeri terhadap pekerja perempuan yang sedang memberikan ASI eksklusif.
Kedua, perusahaan perlu menyediakan ruang khusus laktasi dan ruangan itu bisa dijangkau dalam waktu 10 menit dari ruangan tempat ibu bekerja. Ruangan itu dilengkapi dengan lemari pendingin, alat pompa ASI, wastafel, dan pembersih botol ASI. Ruangan ini juga harus steril dari berbagai macam gangguan seperti suara atau polusi udara.
”Perusahaan memberi izin memompa ASI dua kali di luar jam makan siang. Hal itu penting karena pengosongan payudara itu penting. Kalau tidak dipompa rutin, bisa kering (ASI tak lagi diproduksi tubuh),” ujar Ray.
Ketiga, perusahaan menyediakan materi edukasi bagi pekerja yang menyusui, meliputi teknik memerah ASI, menyimpan ASI, perawatan payudara, dan lain-lain.
Dimensi lainnya adalah perusahaan perlu memiliki target pekerja perempuan usia produktif hingga yang baru kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Perusahaan juga menyediakan diskusi dan pemanfaatan media sosial terkait pemberian ASI eksklusif, menyediakan konselor laktasi dan dokter perusahaan, dan memberikan jadwal konseling bagi ibu menyusui.
”Perlu ada yang bertanggung jawab mengenai laktasi. Dokter perusahaan bukan hanya menangani kecelakaan kerja atau pengobatan, melainkan juga sebagai konselor laktasi khusus untuk pekerja,” kata Ray.
Model laktasi itu diuji coba pada 116 pekerja perempuan. Hasil penelitian menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif pekerja perempuan yang kembali dari cuti melahirkan, itu mencapai 54 persen. Persentase tersebut jauh lebih tinggi dibanding angka cakupan ASI eksklusif nasional tahun 2018 sebesar 37,3 persen.
Selain itu, penelitian itu menunjukkan bahwa 87 persen pekerja perempuan memiliki tingkat kehadiran yang baik. Sebanyak 94 persen pekerja perempuan yang menyusui mampu mencapai target kerja sambil menyusui.
Pada kelompok pekerja yang tidak mendapatkan intervensi model ini, angka ASI eksklusif hanya 6 persen dan pencapaian target kerja 12 persen lebih rendah. Selain itu, tingkat kehadirannya pun 6 persen lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi intervensi.
Lektor Kepala Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Lientje Setyawati mengatakan, terpenuhinya model ini sangat bergantung pada pemimpin perusahaan mengenai ruang dan pojok laktasi.
”Terwujudnya ASI eksklusif juga dipengaruhi dukungan dan pemahaman suami,” katanya.
Lektor Kepala Ilmu Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia Astrid W Sulistomo mengatakan, jika perusahaan sudah membuat kebijakan yang ramah terhadap ibu menyusui, tempat laktasi kerap tidak memadai.
”Tempat yang steril. Selain bersih, ruangan itu tidak digunakan untuk hal lain untuk menjaga privasi ibu,” ujar Astrid.
Pemenuhan gizi bayi melalui pemberian ASI secara eksklusif bisa mencegah stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis. Selain itu, ASI eksklusif juga bisa menurunkan risiko 15,1 kali kematian akibat paru-paru basah dan 10,5 kali risiko kematian akibat diare (Kompas, 16/8/2018). (SUCIPTO)