Myanmar Tak Terima Bantuan dengan Target Khusus Rohingya
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Isu kelompok etnis minoritas Rohingya di Myanmar sangat kompleks dan perlu diatasi sambil bersinergi atau berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Pemerintah Myanmar tidak menerima bantuan internasional yang ditargetkan khusus untuk komunitas Rohingya.
”(Pemerintah Myanmar menganggap) bantuan (internasional) yang ditargetkan hanya untuk kelompok Rohingya akan menimbulkan masalah lain. Mereka (Pemerintah Myanmar) akan mengatakan, kita (warga Myanmar) semua sama-sama miskin, kok bantuan hanya diberikan kepada kelompok Rohingya,” ujar Iza Fadri, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Myanmar, dalam acara kuliah umum di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (15/1/2019).
Ia melanjutkan, bantuan itu perlu disalurkan kepada Pemerintah Myanmar terlebih dahulu dan selanjutnya mereka pula yang akan mendistribusikannya. ”Dubes Arab Saudi pernah mengeluhkan tentang bantuan berupa pembangunan masjid dan rumah sakit di Negara Bagian Rakhine yang ia tawarkan kepada Myanmar. Jangankan diberi izin, dijawab (oleh Myanmar) saja tidak,” ucap Iza.
Menurut Iza, dirinya bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pernah bertemu seorang panglima militer di Myanmar. Upaya untuk melobi panglima itu tidak mudah karena ia memegang teguh pendapatnya.
”Panglima militer itu mengatakan, ’kami punya banyak masalah konflik dengan masyarakat. Ada 20 kelompok bersenjata di Myanmar. Konflik itu diselesaikan secara bilateral saja’,” kata Iza, mengutip panglima militer Myanmar itu.
Iza menceritakan beberapa latar belakang mengenai komunitas Rohingya yang oleh Myanmar disebut Bengali. Mereka dibawa oleh Inggris dari Bangladesh selama zaman penjajahan. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982, Benggali hingga sekarang tidak diakui sebagai warga Myanmar. Karena kendala atau perbedaan bahasa, agama, dan budaya, bisa dianggap sebagian besar komunitas Rohingya mengalami segregasi sosial.
Bagi Iza, Pemerintah Myanmar memiliki perspektif yang berbeda dalam menangani persoalan Rohingya sehingga negara lain yang ingin menyalurkan bantuannya perlu selaras dengan sudut pandang Pemerintah Myanmar. ”China, misalnya, menyalurkan bantuannya melalui Pemerintah Myanmar dan berhasil membangun sekitar 250.000 rumah,” ucap Iza.
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang berhasil menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada Myanmar. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pekan lalu menyampaikan, pembangunan rumah sakit Indonesia di Mrauk U, Rakhine, diharapkan selesai pada Maret 2019. Sebelumnya, Indonesia telah membangun enam sekolah di Rakhine.
Kendala Suu Kyi
Penasihat pemerintah Aung San Suu Kyi sering dikritik secara keras oleh banyak kalangan terkait caranya menangani isu Rohingya. Amnesti Internasional pun sudah mencabut penghargaan hak asasi yang pernah diberikan kepada Suu Kyi. (Kompas, 15/11/2018)
Menanggapi hal itu, Iza menyebutkan, kekuasaan Suu Kyi memang terbatas akibat kekuasaan militer yang masih cukup besar. Secara politis, Konstitusi 2008 Myanmar melegitimasi kekuasaan militernya.
”Masih ada semangat dalam diri Suu Kyi. Dia bukan pemegang kekuasaan secara de facto, tetapi berupaya untuk (memperoleh) itu,” ujar Iza.
Pada Oktober 2018, Misi Pencari Fakta PBB untuk Myanmar menemukan adanya genosida di Myanmar. ”Sekitar 250.000 sampai 400.000 orang tetap saja menderita akibat represi pemerintah,” kata Ketua Misi Pencari Fakta PBB untuk Myanmar Marzuki Darusman (Kompas, 26/10/2018).
Namun, Rusia dan China menilai laporan itu bias. Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menyatakan, belum tentu temuan tim itu benar karena mereka tidak pergi ke Rakhine. Bagi Nebenzia, komunitas internasional seharusnya membantu Myanmar dan Bangladesh untuk menangani masalah pengungsi Rohingya.
Militer Myanmar mengklaim, apa yang terjadi terhadap warga Rohingya dipicu oleh tindakan kelompok ekstrem etnis tersebut. Mereka mulai menyerang pos-pos penjagaan di perbatasan sejak Agustus 2017. Operasi militer terhadap milisi garis keras dianggap sebagai hal yang wajar demi keamanan negara.
Bahkan, awal Januari 2019, militer Myanmar kembali menggelar operasi untuk memerangi milisi Rohingya. Operasi itu dilakukan setelah 13 polisi di empat pos polisi dibunuh oleh kelompok yang diduga milisi tersebut.