Pelaku Usaha Meminta Pemerintah Negosiasi Pembatasan Ekspor Karet
Oleh
Ferry Santoso
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku usaha komoditas karet berharap pemerintah mengintensifkan negosiasi terkait kesepakatan pembatasan volume ekspor karet dengan negara produsen yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council. Negosiasi kesepakatan itu dinilai penting untuk menaikkan harga karet di tingkat internasional dan meluruskan persepsi pasar mengenai stok karet di pasar dunia.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo di Jakarta, Senin (14/1/2019). ”Pemerintah terus melakukan diplomasi dengan negara produsen karet. Gapkindo mendukung langkah pemerintah melakukan diplomasi atau negosiasi lebih intens,” kata Moenardji.
Negara produsen karet alam yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) adalah Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Saat ini, harga karet cukup rendah, yaitu 1,4 dollar AS per kilogram. ”Awal Desember lalu, harganya 1,2 dollar AS per kilogram. Harga karet diharapkan bisa naik ke level 1,5 dollar AS sampai 1,6 dollar AS per kilogram,” kata Moenardji.
Oleh karena itu, perlu negosiasi dengan negara produsen di ITRC untuk melakukan kesepakatan pembatasan volume ekspor karet agar dapat menaikkan harga komoditas karet. Ia berharap, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, kesepakatan itu sudah bisa dihasilkan pemerintah dari ketiga negara tersebut.
Penurunan harga karet di pasar internasional saat ini dinilai tidak terlepas dari pengaruh perdagangan bursa komoditas di Singapura dan stok produk karet jenis khusus atau tertentu (standard China rubber whole field/SCR-WF) di China. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa stok produk karet jenis umum (TSR 20) yang secara volume banyak diperdagangkan dan digunakan industri pengguna, seperti industri ban, berlimpah.
Kelebihan stok karet jenis khusus di China yang berbeda dengan karet jenis umum (TSR 20) yang secara volume banyak diperdagangkan dan digunakan industri pabrikan, kata Moenardji, ikut memengaruhi bursa perdagangan karet di Singapura sehingga harga karet tertekan.
Selain itu, penentuan harga karet di bursa Singapura juga tidak merefleksikan dengan baik kondisi fundamental stok dan perdagangan karet jenis TSR 20 yang banyak diperdagangkan.
Pemerintah berupaya mengoptimalkan kerja sama dengan negara produsen karet lain.
Produksi karet di Indonesia mencapai 3,6 juta ton per tahun. Konsumsi karet di dalam negeri untuk industri pengguna seperti industri ban sekitar 600.000 ton. Dengan demikian, volume ekspor karet mencapai 3 juta ton per tahun. Dengan harga karet yang rendah, harga di tingkat petani semakin tertekan.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, pemerintah berupaya mengoptimalkan kerja sama dengan negara produsen lain, yaitu Thailand dan Malaysia, untuk mengendalikan harga karet internasional.
Selain itu, menurut Musdhalifah, pemerintah mengupayakan agar permintaan di pasar domestik dapat ditingkatkan melalui koordinasi dengan kementerian terkait dan pemerintah daerah untuk pemanfaatan produk karet alam. Misalnya, penggunaan karet untuk aspal jalan atau bantalan kereta api. ”Secara teknis, ini masih terus dibahas dan dipelajari,” katanya.
Namun, menurut Musdhalifah, harga karet sudah mulai naik dari 1,2 dollar AS per kilogram menjadi 1,4 dollar AS per kilogram. Ke depan, ia menambahkan, program penanaman kembali tanaman karet diperlukan.