JAKARTA, KOMPAS—Pendidikan agama yang kembali kepada nilai persatuan manusia di dalam kemanusiaan merupakan wujud paling tepat bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Keberadaan agama adalah sebagai pemersatu, bukan pemecah dan pembeda di masyarakat.
"Ajaran agama bisa menyebarluas dari negara asal di Timur Tengah, China, dan India ke negara-negara lain di dunia. Itu karena ajaran agama sangat mudah diadaptasi berbagai budaya dan suku bangsa," tutur dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Fuad Jabali, pada seminar "Merawat Keimanan: Negara, Pendidikan Agama, dan Pencegahan Kekerasan Ekstrem di Asia Tenggara" yang diadakan di Jakarta, Senin (14/1/2019).
Ajaran agama bisa menyebarluas dari negara asal di Timur Tengah, China, dan India ke negara-negara lain di dunia. Itu karena ajaran agama sangat mudah diadaptasi berbagai budaya dan suku bangsa.
Fuad yang juga peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah menjelaskan, ajaran agama tidak melekat pada budaya suatu kelompok etnis. Justru, ajaran agama merayakan keberagaman kebudayaan yang ada di dunia karena tujuan dari agama ialah menyatukan kehidupan yang beragam tersebut di dalam persaudaraan, kesejahteraan, dan ketertiban.
"Berangkat dari pemahaman itu, pendidikan agama di sekolah dan di masyarakat semestinya bisa menjadi pintu pertemuan, komunikasi, dan sinergi antara berbagai ajaran agama dan kepercayaan," ujarnya. Komunikasi tidak bermaksud saling mendebatkan dan meragukan ajaran satu sama lain, melainkan membahas cara pelaksanaan dan penjaminan terwujudnya masyarakat madani, baik melalui pendidikan internal keagamaan maupun dialog lintas agama.
Masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara memiliki keragaman budaya dan suku bangsa, bahkan dalam lingkup satu negara. Hal itu merupakan pijakan bagi agama untuk memastikan tatanan kehidupan bangsa berjalan dengan prinsip kemanusiaan. Terlepas homogenitas suatu komunitas, apabila pendidikan agama menekankan kemanusiaan, pemikiran intoleran tak akan muncul.
Direktur Maarif Institute M Abdullah Darraz yang turut hadir dalam acara itu mengatakan, pelajaran agama sebagai ruang temu bisa diterapkan di sekolah. Misalnya, mengatur setiap satu kali dalam sebulan siswa-siswa dari berbagai aliran agama disatukan dalam pelajaran agama untuk membahas sudut pandang mereka tentang masyarakat, negara, dan bangsa.
Ekstrakurikuler (ekskul) kerohanian Islam juga sangat cocok dimanfaatkan untuk memperkaya sudut pandang siswa. Para anggota ekskul dibimbing dengan guru dan pembina bisa melakukan kunjungan ke berbagai tempat ibadah di masyarakat untuk membangun dialog.
Sinergi
Dalam seminar itu, hasil penelitian di negara-negara Asia Tenggara dipaparkan. Peneliti dari Universiti Sains Malaysia Azmil Moh Tayeb menjelakan, masyarakat Malaysia tumbuh dalam sekat-sekat etnis dan agama. Namun, dengan semakin berkembangnya masyarakat, interaksi antarkomunitas semakin sering terjadi. Orang-orang yang kerap berinteraksi dengan kelompok berbeda memiliki sikap toleransi dan nasionalisme yang tinggi.
"Rekomendasi dari penelitian ini ialah agar sekolah-sekolah memasukkan materi pelajaran agama yang komparatif untuk saling mengenal ajaran agama agar tidak timbul prasangka di antara siswa," ujarnya.
Rekomendasi dari penelitian ini ialah agar sekolah-sekolah memasukkan materi pelajaran agama yang komparatif untuk saling mengenal ajaran agama agar tidak timbul prasangka di antara siswa.
Sementara peneliti dari Asian, Culture and Society Ecole Superieure des Sciences Economiques et Commerciales di Singapura, Rizwana Abdul Aziz mengatakan, pelajaran agama di Singapura menekankan pembentukan pribadi siswa agar ketika tumbuh dewasa menjadi warga negara yang baik. Konteks pelajaran selalu dihubungkan dengan isu kontemporer yang terjadi di masyarakat.
"Kemampuan siswa mengekspresikan diri dengan cara yang bertanggung jawab sangat penting dalam pembelajaran di sekolah. Di dalamnya mencakup kemampuan mereka menghargai perbedaan maupun mengemukakan argumen secara sehat dan tetap menghormati lawan bicara," ucapnya.