JAKARTA, KOMPAS — Penguatan kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan membutuhkan dukungan regulasi yang dapat memberikan wewenang bagi BPOM untuk melaksanakan penindakan. Dengan demikian, BPOM dapat menangkap dan menahan terduga pelaku kejahatan obat dan makanan.
Kepala BPOM Penny K Lukito, dalam acara Refleksi Kinerja BPOM 2018 dan Rencana Kerja 2019, di Jakarta, Selasa (15/1/2019), mengatakan, ada dua proyek prioritas nasional bagi BPOM pada 2019. Keduanya ialah penguatan pengawasan serta penegakan hukum pengawasan obat dan makanan. Kedua proyek tersebut dapat terealisasi jika BPOM didukung regulasi yang mengatur pengawasan obat dan makanan.
”Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan sudah disusun. Kini sedang dibahas di DPR,” kata Penny.
Selain Penny, acara refleksi itu juga dihadiri Direktur Inovasi Industri Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Santoso Yudo Warsono, Deputi Bidang Pembangunan Manusia Masyarakat dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Subandi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, serta Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman.
Lebih lanjut Penny menyampaikan RUU tentang pengawasan obat dan makanan itu turut mengatur pengembangan, pembinaan, dan fasilitasi industri obat dan makanan. Selain itu, penguatan fungsi penegakan hukum di bidang obat dan makanan juga diatur dalam RUU.
BPOM mencatat, selama 2015-2018 ada 1.103 perkara peredaran obat dan makanan ilegal. Dari jumlah itu, ada 602 perkara yang sudah diselesaikan. Kerugan akibat peredaran obat dan makanan ilegal ditaksir mencapai Rp 161,48 miliar.
Deputi Bidang Penindakan BPOM Hendri Siswadi mengatakan, upaya penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran obat dan makanan ilegal sudah dilakukan. Namun, upaya itu dinilai akan lebih efektif bila didukung dengan adanya undang-undang.
”Kewenangan upaya paksa seperti menahan dan menangkap masih kurang. Terduga pelaku bisa saja lari. Dalam Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan, kami upayakan agar ada kewenangan untuk menahan (terduga pelaku),” kata Hendri.
Menurut Hendri, terduga pelaku suatu kasus pernah kabur sebelum BPOM sempat bertindak. Namun, ia tidak dapat menyebutkan kasus tersebut secara rinci.
Selama ini, BPOM tidak berwenang untuk menangkap terduga pelaku kejahatan obat dan makanan. Untuk menangkap dan menahan pelaku, BPOM bekerja sama dengan penegak hukum seperti Polri serta Bea dan Cukai.
”Dengan adanya wewenang bagi BPOM untuk menahan terduga pelaku, akan membuat penegakan hukum pengawasan obat dan makanan jadi lebih efektif. Sebelum ini, BPOM hanya punya pusat penyidikan untuk melacak pelaku. Sekarang ada bidang penindakan pada struktur BPOM. Di bidang ini, ada fungsi pengamanan dan ada intelijen untuk mencari data-data baru. Jika informasi sudah jelas, kami akan lanjutkan ke proses penyidikan,” kata Hendri.
Modus baru
Hendri mengatakan ada modus baru penjualan serta distribusi obat dan makanan ilegal, yaitu melalui jasa pengiriman, baik daring maupun luring. Oleh sebab itu, BPOM menyiapkan Program Badan Kerja (Perka) yang akan mengatur penjualan obat dan makanan di platform e-dagang.
Penny mengatakan, BPOM akan menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah penyedia jasa pengiriman dan lapak e-dagang. Tujuannya agar ada persamaan syarat penjualan obat dan makanan di platform daring ataupun luring. Selama ini, syarat tersebut hanya mengatur penjualan obat dan makanan secara konvensional atau luring.
”Kami akan dukung BPOM dalam hal ini. Bila ada temuan obat dan makanan ilegal di lapangan, anggota kami akan koordinasikan dan akan segera menghubungi BPOM,” kata Bendahara Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) Benny Pribadi.
Salah satu kasus penjualan obat ilegal secara daring pernah terjadi di Semarang, Juni 2018. BPOM menyita 146 jenis obat dengan nilai ekonomi mencapai Rp 3,5 miliar. Obat ilegal tersebut antara lain ialah kolagen, obat pelangsing, vitamin C injeksi, dan sejumlah produk perawatan kulit (Kompas.id, 1/6/2018).
Menurut Hendri, tren obat dan makanan ilegal yang beredar di masyarakat berbeda-beda setiap tahun. Pada 2018, BPOM menemukan banyak kosmetik ilegal. Sementara itu, dari akhir Desember 2018 hingga Januari 2019 BPOM menemukan banyak obat ilegal.
Inspektur Utama BPOM Reri Indriani mengatakan, ada sekitar 10 persen obat palsu di dunia bila mengacu pada data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara itu, menurut dia, ada sekitar satu persen temuan obat palsu di Indonesia.
Hingga kini, Perka yang disusun BPOM masih dalam proses evaluasi publik. Proses itu memakan waktu sekitar dua minggu. Selanjutnya, Perka akan diperbaiki dan dikoordinasikan dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (SEKAR GANDHAWANGI)