Tantangan Menjadi Kota Cerdas, Kini dan Nanti
Baik buruknya angka yang diperoleh dari penilaian indeks kota cerdas tidak akan berarti jika tidak menjadi pemacu semangat pengelolaan kota-kota menjadi cerdas yang inklusif. Bagaimana pengelola kota memahami identitas dan potensi lokal daerahnya, lalu mampu mengelolanya dengan tepat bersama masyarakat, akademisi, serta swasta menjadi tantangan selanjutnya.
Dari hasil IKCI 2018 yang dilakukan harian Kompas, diketahui kota-kota pemenang di empat kategori pun belum memperoleh nilai tinggi atau maksimal. Hal ini menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah, terutama pemerintah kota. Pekerjaan makin menumpuk bagi kota-kota yang sejauh ini belum menunjukkan indikasi menuju kota yang menempatkan pelayanan warga sebagai prioritas pembangunan.
Ketua Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah Institut Teknologi Bandung Ridwan Sutriadi, yang juga juri Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2018, mengatakan, kendala sebuah kota berkembang menjadi kota cerdas pertama-tama karena belum berhasilnya kota mengembangkan atau menciptakan identitas ciri khas lokal. Ciri khas ini bisa menjadi dasar pengembangan kota untuk mempunyai daya saing di tingkat nasional hingga internasional.
Untuk merumuskan identitas lokal ini terdapat beberapa langkah. Salah satunya adalah mengenali dahulu basis ekonominya, bisa jadi basis jasa, basis sektor primer, industri atau berbasis teknologi informasi dan komunikasi hingga berbasis kecerdasan buatan. Selain itu, identitas lokal itu juga harus sustainable atau bisa berkelanjutan.
Tantangan untuk mengembangkan smart city adalah kedekatan dengan kota yang jauh lebih besar. Kota satelit dari kota yang jauh lebih besar bisa menjadi terlalu bergantung pada kota besar sehingga tak mampu berkembang mandiri. ”Misalnya, ada kota yang banyak warganya bekerja di Jakarta, kota itu sendiri belum mengembangkan ciri khasnya yang sesuai dengan basis ekonominya untuk berkembang,” katanya, Sabtu (12/1/2019).
Ia juga mencontohkan Cimahi yang harus bersaing dengan Bandung yang sudah berkembang jauh lebih besar. Saat itu, Cimahi mendeklarasikan diri sebagai Cimahi Cyber City. Konsep ini terus dikembangkan, salah satunya dengan membuat gedung Baros Cimahi Cyber City yang membuat Cimahi menarik bagi komunitas kreatif.
Di sini, peran Pemerintah Kota Cimahi sangat besar karena memberikan pancingan atau sebagai inisiator untuk mengawali pengembangan itu. Namun, transformasi menjadi kota cerdas ini tak hanya bersumber dari pemerintah daerah saja. Transformasi bisa datang dari konsultan, warga, ataupun transformasi dari dalam kalangan internal di aparatur sipil negara (ASN) sendiri.
Dosen Perencanaan Kota dan Real Estat dari Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengatakan, saat ini konsep smart city masih jauh dari konsep pengembangan kota-kota umumnya di Indonesia. ”Karena tata kelola kota sendiri sebenarnya belum cukup. Jadi, kalau yang dasar saja belum, diisi dengan teknologi, jadi belum tercapai,” katanya.
Tata kota kota cerdas seharusnya diawali dari pemerintah, yaitu sumber daya manusia di pemerintahan daerah. Ia juga menyoroti pentingnya partisipasi antara kalangan terdidik dan kreatif suatu kota dengan pemerintah daerahnya. Kalangan terdirik dan kreatif ini bisa berasal dari universitas di kota itu. Namun, sejumlah kota yang mempunyai universitas di daerahnya sendiri tak terjadi kolaborasi tersebut.
”Seharusnya kolaborasi datang dari dua belah pihak, dari pemerintah daerah dan pihak universitas pun seharusnya menawarkan. Namun, banyak perguruan tinggi yang seperti republik sendiri di kota tempatnya ada. Ini menurut saya kelemahan terbesar tak terbentuknya kerja sama di sana,” katanya.
Menurut Suryono, lokalitas atau identintas lokal sebuah kota dibangun dengan kerja sama pihak-pihak yang ada di wilayah tersebut. Bukan saja dikembangkan dengan konsep proyek yang sifatnya sementara. Perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat berperan juga memegang peran penting menjembatani antara pemerintah dan warga.
Belum inklusif
Kerja sama antarpihak, seperti disebut Suryono, menjadi langkah awal untuk mewujudkan kota cerdas yang inklusif. Sebuah langkah yang masih sulit diwujudkan.
Tangerang Selatan, misalnya, yang mendapatkan peringkat ketiga kota metropolitan se-Indonesia dengan skor 61,68 dirasakan belum menjadi kota cerdas yang inklusif. Kota ini masih didominasi peran pengembang yang mengembangkan kawasan-kawasan baru permukiman juga pusat bisnis. Muncul kesenjangan dengan masyarakat yang menghuni kawasan nonproduk pengembang besar.
Studi Vesselinov dan Cazessus (2007) di Amerika Serikat menyimpulkan, permukiman real estat yang disebut komunitas berpagar (gated community) mempertegas ketimpangan sosial di masyarakat. Real estat yang dibangun oleh pengembang didominasi oleh warga berpendidikan tinggi, sementara mayoritas warga permukiman biasa adalah warga tanpa gelar perguruan tinggi.
Real estat juga lebih banyak dihuni oleh profesional di pasar tenaga kerja primer, seperti pebisnis, pengacara, dan dokter. Adapun permukiman nonreal estat dihuni warga di pasar tenaga kerja sekunder, seperti tukang kebun, dan petugas kebersihan, dan petugas keamanan.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Widhyharto, Senin (7/1/2019), yang sedang melaksanakan riset tentang komunitas berpagar di Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan, mengatakan, kehadiran pengembang real estat menyediakan permukiman untuk kelas menengah yang bekerja di Jakarta. Efeknya adalah kesenjangan.
”Mereka yang gagal berkompetisi secara ekonomi, mayoritas masyarakat asli Tangerang Selatan, termarjinalkan. Muncullah narasi baru di kota ini, yaitu si kaya dan si miskin. Tembok-tembok perumahan menimbulkan kesenjangan,” kata Derajad.
Kecenderungan pengembangan kota yang lebih banyak dilakukan oleh pengembang baik swasta maupun milik pemerintah tidak hanya terjadi di Tangerang Selatan. Di kawasan Jabodetabek, hal ini jamak terjadi, pun di kota-kota lain di Indonesia. Semestinya ada antisipasi dan ketegasan pemerintah dalam penerapan dan pengawasan aturan rencana tata ruang wilayah serta kebijakan lain yang terkait.
Transportasi timpang
Pekerjaan rumah selanjutnya yang masih menghantui pengelola kota di Indonesia adalah membangun jaringan layanan transportasi publik memadai.
Peneliti Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, yang menjadi juri IKCI 2018 dari sisi mobilitas, mengatakan, dari sisi transportasi, rata-rata kota-kota di Indonesia belum memadai memenuhi konsep smart city. ”Dari sisi fisik, sudah ada kota yang bagus dengan teknologi tinggi. Tapi dari sisi transportasi, nyaris belum ada kota yang mencerminkan transportasi yang smart,” kata Deddy.
Konsep smart city dari sisi transportasi ini adalah kota yang sudah memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda, menyediakan angkutan umum massal, hingga integrasi angkutan umum massal.
Menurut Deddy, sebuah kota yang sistem transportasi sudah mencerminkan konsep cerdas ini adalah warga tidak lagi berpikir menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Kendala utama adalah sebagian besar kota di Indonesia, desain sistem transportasinya memang belum mengutamakan angkutan umum massal. Hal ini tidak saja menyediakan angkutan umum massal, tetapi juga infrastruktur secara rinci untuk integrasi, hingga pada cekungan di jalan untuk perpindahan moda hingga pada atap di jalur pejalan kaki atau akses yang memudahkan pejalan kaki untuk menghubungkan perpindahan antarmoda transportasi.
Kendala besar lainnya adalah belum adanya sistem makro untuk transportasi modern. Sistem yang dimaksud dimulai dari kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang diwujudkan dengan rancangan pembangunan jangka menengah hingga regulasi yang mendukung. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)