JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah perlu segera menyelesaikan penetapan tapal batas wilayah pedesaan agar program pembangunan bisa berjalan lebih optimal. Hal ini diharapkan bisa segera teratasi karena hampir 95 persen dari 74.093 desa belum memiliki tapal batas yang jelas.
"Ketidakjelasan batas wilayah ini akan sangat berpengaruh pada kewenangan pemerintah desa dalam mengelola kekayaan desanya. Masalah ini tidak bisa terselesaikan kalau kita tak punya peta yang akurat," ujar Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho dalam Rembuk Nasional untuk Kedaulatan Desa di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Hadir dalam diskusi sebagai pembicara adalah Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Koordinator Nasional Forum Desa Mandiri Tanpa Korupsi (DMTK) Ahmad Bahruddin, dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ahmad Muqowwam.
Berdasarkan data Lembaga Daulat Desa, setidaknya baru 5 persen dari 74.093 desa yang memiliki batas wilayah. Artinya, 95 persen desa di Indonesia belum jelas batas wilayahnya.
Yanuar menilai, hal itu berpotensi menimbulkan masalah hukum dan menyebabkan ketidakjelasan sumber daya yang merupakan kekayaan desa. Setidaknya ada tiga potensi masalah yang timbul karena ketidakjelasan batas desa, seperti konflik kepemilikan aset daerah, pemanfaatan sumber daya alam, dan data kependudukan.
Untuk mengatasi masalah itu, Yanuar menegaskan, pihaknya akan segera berkomunikasi dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar setidaknya usulan peta indikatif bisa lebih didahulukan untuk dipakai. Hingga kini, ada sekitar 40.000 peta indikatif yang belum ditetapkan sebagai peta definitif.
"Prosesnya terlalu lama kalau kita menunggu proses dari peta indikatif ke peta definitif. Paling tidak kita pakai dulu peta indikatif, tetapi harus ada dengan catatan daripada kita tak punya peta," ujar Yanuar.
Permasalahan daerah
Muhammad berpendapat bahwa ketidakjelasan batas desa ini seharusnya menjadi perhatian serius, baik oleh Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Apalagi, masalah ketidakjelasan batas desa itu semakin nyata karena pergeseran alam terus terjadi.
Dia mencontohkan, pada tahun 2010, konflik batas desa pernah terjadi antara Desa Bulungcangkring, Kabupaten Kudus, dan Desa Gadu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena ada perubahan alur Sungai Juana. Namun, konflik bisa terselesaikan karena ada Peraturan Menteri Dalam Negeri soal batas daerah Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati.
Konflik lain juga pernah terjadi di salah satu desa di Kudus pada saat pelaksanaan pemilihan kepala desa tahun 2007. Saat itu, ada desa tetangga ikut mencoblos di desa lain karena dulu belum ada kartu tanda penduduk elektronik seperti sekarang.
"Untuk menuju desa yang berdaulat, harus ada kejelasan kewenangan desa, ketegasan batas desa juga harus diatur, dan pengelololaan ketersediaan sumber daya manusia agar antardesa juga tak saling berkonflik," tutur Tamzil.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD Ahmad Muqowwam menilai permasalahan kedaulatan desa sebenarnya sudah muncul sejak pengesahan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kemendagri dan Perpres Nomor 12/2015 tentang Kemendes PDTT. Kedua aturan itu sama-sama mengatur soal pembangunan desa sehingga kerap membingungkan aparatur desa.
"Tugas Pokok dan Fungsi Kemendagri dan Kemendes dalam mengelola desa pun kerap berbenturan, ngawur (asal-asalan) jadinya. Kalau ada fragmentasi di pusat pasti ada fragmentasi di bawah, aturan mana yang paling tepat dipegang? Ini harus dibenahi dulu," kata Ahmad.