Anggaran Defisit, Tarif Iuran JKN-KIS Perlu Dinaikkan
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) defisit sebesar Rp 16,5 triliun pada 2018. Kenaikan tarif iuran dinilai perlu untuk menyiasati defisit. Selain itu, sumber pendanaan alternatif juga harus dipertimbangkan.
Defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meningkat setiap tahun. Pada 2015 BPJS defisit sebesar Rp 5,7 triliun, pada 2016 sebesar Rp 9,7 triliun, dan pada 2017sebesar Rp 10 triliun (Kompas, 11/8/2018).
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo mengatakan, iuran JKN-KIS dapat dinaikan sekitar 10 persen. Persentase itu didasarkan pada sejumlah aspek, seperti tingkat inflasi dan nilai total pelayanan kesehatan.
“Kami sedang menghitung usulan kenaikan tarif iuran yang ideal. Tarif yang terlalu rendah akan menyebabkan defisit. Bahkan, kondisi sekarang pun sudah menyebabkan defisit,” kata Sigit Maftuchan di Jakarta, Selasa (15/1/2018).
Iuran JKN-KIS dapat dinaikan sekitar 10 persen. Persentase itu didasarkan pada sejumlah aspek, seperti tingkat inflasi dan nilai total pelayanan kesehatan. Kami sedang menghitung usulan kenaikan tarif iuran yang ideal.
Evaluasi dan penyesuaian tarif iuran pun harus dilakukan setiap dua tahun sekali. Kini, iuran yang harus dibayar oleh penerima bantuan iuran (PBI) adalah Rp 23.000. Padahal, sebelumnya DJSN mengusulkan besaran iuran PBI sejumlah Rp 36.000.
Defisit terjadi karena biaya pemanfaatan JKN-KIS lebih besar daripada iuran yang dibayarkan. Selain itu, tunggakan iuran yang belum dibayar oleh para peserta JKN-KIS juga menjadi masalah.
Rumah sakit terganggu
Akibat defisit, likuiditas keuangan sejumlah rumah sakit mitra kerja BPJS Kesehatan terganggu. Pembayaran klaim pelayanan kesehatan dari rumah sakit kepada BPJS Kesehatan pun terlambat.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan mengatakan, kondisi ini akan berpengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Komitmen rumah sakit untuk melayani dikhawatirkan akan melonggar.
“Keberlangsungan finansial JKN bergantung pada perpaduan opsi kontribusi dan nonkontribusi. Artinya, peserta JKN-KIS harus patuh membayar iuran dan pemerintah juga harus menyediakan dana. Harus dipahami bahwa JKN adalah asuransi sosial dengan semangat gotong royong, bukan asuransi komersial,” kata Maftuchan.
Selain menguatkan sektor pendanaan, Maftuchan mengatakan, BPJS Kesehatan pun harus transparan dalam pengelolaan dana JKN-KIS. Hal itu berlaku pula bagi rumah sakit mitra BPJS Kesehatan.
Alternatif pendanaan
Mengandalkan iuran JKN-KIS sebagai sumber utama pendanaan JKN-KIS dinilai tidak bijak. Dibutuhkan opsi alternatif untuk mendanai program ini, seperti memanfaatkan sin tax atau cukai rokok, gula, garam, dan lemak.
Cukai hanya berlaku bagi komoditas yang dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. oleh sebab itu, cukai bertugas untuk mengontrol jumlah komoditas itu tanpa harus melarang peredarannya.
Maftuchan mengatakan, pendanaan alternatif melalui cukai bisa dilakukan. Pasalnya, penggunaan cukai rokok, gula, garam, dan lemak bisa menambah dana bagi pelaksanaan program JKN-KIS. Selain itu, kesehatan masyarakat juga dapat lebih terkontrol.
“Jadi, pendanaan dari cukai itu tidak hanya menambah anggaran, tapi juga membuat masyarakat lebih sehat. Optimalisasi cukai bisa berperan untuk mencegah penyakit besar, seperti kanker, gagal ginjal, dan diabetes yang banyak diderita peserta JKN-KIS,” kata Maftuchan.
Pendanaan dari cukai itu tidak hanya menambah anggaran, tapi juga membuat masyarakat lebih sehat. Optimalisasi cukai bisa berperan untuk mencegah penyakit besar, seperti kanker, gagal ginjal, dan diabetes yang banyak diderita peserta JKN-KIS.
Menurut Tenaga Ahli Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, pendanaan JKN-KIS tidak harus mengandalkan iuran semata. Butuh pendanaan publik untuk mendanai program ini, misalnya menaikkan tarif bagi peserta JKN-KIS yang tergolong mampu secara finansial.
“Kita harus memaknai JKN-KIS sebagai asuransi sosial karena tujuan JKN-KIS adalah untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi semua orang,” kata Hasbullah. (SEKAR GANDHAWANGI)