PALU, KOMPAS — Pemerintah diminta memperkuat wilayah pesisir Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dengan tanaman mangrove. Mangrove terbukti mampu meredam hantaman tsunami, abrasi, dan fungsi ekologis lain. Pembangunan tanggul dinilai juga hanya menjawab kebutuhan jangka pendek.
Ketua Mangrover, komunitas pencinta mangrove, Teluk Palu Ismail menyatakan, pilihan terbaik menjaga ekosistem pesisir adalah mangrove. ”Mangrove melindungi wilayah pesisir dan semua warganya untuk jangka panjang, bukan seperti tanggul yang meskipun bisa dibangun singkat bisa juga rusak dalam waktu yang singkat,” ujar Ismail di Palu, Sulteng, Selasa (15/1/2019).
Ismail dimintai pendapat terkait rencana pemerintah membangun tanggul untuk menahan abrasi dan pasang air laut di Teluk Palu pascatsunami pada 28 September 2018. Gempa bumi dan tsunami lalu menyebabkan kehancuran wilayah pantai dan ada fenomena turunnya tanah (down-lift).
Merespons tsunami di Palu, pemerintah hendak mengatasi hal itu dengan membangun tanggul sepanjang 7,5 kilometer yang rencana pengerjaannya dimulai Maret 2019.
Pemerintah diminta tidak terjebak mengejar rekonstruksi Kota Palu hanya dengan menghitung waktu pembangunan yang singkat. Kepentingan jangka panjang harus menjadi pertimbangan utama. Lagi pula, menanam mangrove diyakini lebih murah daripada membangun tanggul panjang.
Meskipun alasan pemerintah membangun tanggul untuk mengatasi pasang, lanjut Ismail, dari bencana lalu mangrove terbukti mampu meredam terjangan tsunami. Contohya di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Daerah itu dilindungi mangrove sehingga tsunami mampu dijinakkan. ”Mangrove bukan hanya mencegah pasang atau abrasi, tetapi juga meminimalisasi jatuhnya korban dan kerusakan akibat tsunami,” ujarnya.
Pantauan Kompas, di Kelurahan Kabonga Besar tak terlihat kerusakan akibat terjangan tsunami di daerah itu, terutama di RW 002. Rumah-rumah warga dilindungi hutan mangrove. Tak ada yang rusak. Padahal, ada rumah yang berjarak hanya 5 meter dari posisi air laut tak pasang.
Kondisi itu kontras dengan wilayah pesisir lain, mulai dari Kota Palu hingga RW 001 Kelurahan Kabonga Besar. Kehancuran karena sapuan tsunami terjadi di titik-titik tersebut. Di RW 001 Kabonga Besar, sebenarnya, kehancuran tak terlalu parah karena pohon-pohon mangrove yang tak banyak masih mampu menahan sedikit terjangan tsunami.
”Saat tsunami lalu, air laut memang sampai rumah-rumah dan jalan, tetapi tak ada energinya. Kami di sini tak merasakan adanya tsunami, terasa hanya air laut pasang,” kata Yurianti (39), warga RT 001 RW 02 yang juga Ketua Kelompok Tani Hutan Gonenggeti Jaya, Kabonga Besar.
Luas hutan mangrove 10 hektar. Hutan mangrove cukup lebat dan rapat. Berkat ekosistem mangrove itu, selain tak terjadi kerusakan rumah, tak ada korban jiwa di RW 002.
Pembangunan tanggul digarap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian PUPR Arie Setiadi Moerwanto menyatakan, tanggul dirancang lebih fleksibel dengan konstruksi dari tumpukan batu dilapisi lapisan kedap air. Dengan konstruksi demikian, ketika terjadi penurunan muka pantai, material batuan dengan gampang dimasukkan lagi.
Fokus hunian tetap
Masih terkait penanganan pascabencana Sulteng, sambil merampungkan pembangunan hunian sementara dan menempatkan penyintas secara bertahap, pemerintah saat ini mengalihkan fokus ke pembangunan hunian tetap.
Gubernur Sulteng Longki Djanggola menyatakan, saat ini pihaknya memfinalisasi desain induk hunian tetap. ”Kalau hal itu sudah selesai, saya kira April sudah mulai ada pengerjaan, terutama jalan poros menuju lokasi kompleks hunian tetap dengan target pengerjaan dua tahun ke depan,” katanya.
Lahan yang dipakai untuk relokasi merupakan lahan hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) sejumlah perusahaan yang dalam beberapa tahun terakhir ditelantarkan. Saat ini, pemerintah masih mengurus legalitas lahan relokasi tersebut. Namun, Longki meyakinkan berdasarkan konsultasi dengan Badan Pertanahan Nasional/Kementerian Agraria dan Tata Ruang pembangunan tetap boleh dimulai.
”Memang ada pemegang HGU atau HGB keberatan, tetapi BPN/ATR punya kekuatan yang menegaskan dalam keadaan darurat dan untuk kepentingan negara semua hak boleh diambil alih oleh negara,” katanya.
Titik relokasi penyintas tersebar di empat titik, yakni 2 titik di Kota Palu, 1 titik di Kabupaten Donggala, dan 1 titik Kabupaten Sigi. Penyintas yang direlokasi mereka yang rumahnya hilang atau hancur dan berada di zona merah. Zona merah merujuk pada titik-titik terjadinya tsunami, likuefaksi, dan dekat sesar utama sistem Palu-Koro yang memicu gempa bumi lalu.
Arie menyebutkan, pihaknya memang sudah mulai mengalihkan perhatian ke pembangunan hunian tetap. Selain jalan poros, infrastruktur dasar lain yang akan segera mulai dikerjakan jaringan pipa air bersih dan sistem pembuangan di dalam kawasan hunian tetap.