Dituntut Delapan Tahun, Tasdi Didakwa Kasus Suap dan Gratifikasi
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Bupati Purbalingga nonaktif Tasdi dalam kasus suap dan gratifikasi. Selain dituntut delapan tahun penjara, Tasdi juga terancam hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih selama lima tahun.
Dalam sidang tuntutan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (16/1/2019), Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Tasdi pidana delapan tahun penjara serta denda Rp 300 juta subsider kurungan enam bulan.
"Menyatakan terdakwa sah dan meyakinkan, melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dalam dakwaan primer, dan menerima gratifikasi dalam dakwaan kedua," ujar anggota JPU KPK Kresno Anto Wibowo.
Dalam sidang yang diketuai majelis hakim Antonius Widijantono, selain pidana penjara delapan tahun dan denda Rp 300 juta subsider kurungan enam bulan, jaksa menuntut hukuman tambahan bagi terdakwa berupa pencabutan hak politik untuk dipilih selama lima tahun.
Menurut JPU, hal-hal yang memberatkan terdakwa ialah perbuatan yang tak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi serta mencederai amanah selaku kepala daerah. "Yang meringankan adalah, terdakwa bersikap sopan, mengakui dan menyesali kesalahannya," ujar jaksa dalam pertimbangannya.
Tasdi, disebutkan jaksa, telah menerima suap Rp 115 juta dari yang dijanjikan Rp 500 juta, untuk proyek Islamic Center di Purbalingga tahap II, dengan nilai proyek Rp 22 miliar. Suap tersebut merupakan upaya pengaturan lelang yang melibatkan rekanan Hamdani Kosen, Librata Nababan dan Ardirawinata Nababan.
Adapun fee yang dijanjikan, diserahkan melalui Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Purbalingga Hadi Iswanto. "Sebagai bupati, terdakwa tergerak memerintahkan bawahannya agar Librata Nababan (kontraktor) dimenangkan dalam proses lelang," ucap jaksa.
Rekanan yang menyuap Tasdi, yakni Hamdani, Librata, dan Ardirawinata, sebelumnya telah divonis 3,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Semarang. Sementara Hadi, bawahan Tasdi, dihukum 4 tahun penjara.
"Sebagai bupati, terdakwa tergerak memerintahkan bawahannya agar Librata Nababan (kontraktor) dimenangkan dalam proses lelang," ucap jaksa.
Dalam kasus gratifikasi, disebutkan jaksa, Tasdi menerima sejumlah uang dari beberapa pihak. Jumlah uang yang ditemukan penyidik KPK di rumah dinas bupati tersebut beragam, di antaranya Rp 30 juta, Rp 100 juta, Rp 180 juta, dan 20.000 dolar AS. Dalam amar tuntutan, uang tersebut agar dirampas negara.
Sementara dalam kasus gratifikasi, Tasdi menerima sejumlah uang baik dari kolega, rekanan hingga anggota DPR. Salah satunya disebut dari Utut Adianto, anggota DPR RI dari PDI-P sebesar Rp 180 juta untuk membantu pemenangan Pilkada Jateng 2018. Namun oleh Tasdi, uang tersebut disimpan di rumah dinas bupati dan tidak dilaporkan ke bendahara partai. Padahal, dari keterangan saksi, sesuai AD/ART partai, semua penerimaan wajib dicatatkan.
Tasdi akan menyampaikan pembelaan pada sidang Rabu (23/1/2019) berikutnya. Dia mengaku menyiapkan pledoi tersendiri, selain dari penasehat hukum. "Ikuti saja pledoi besok," ucap Tasdi usai sidang.
Tasdi dijerat Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, serta Pasal 12 huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, Tasdi, yang terpilih sebagai kepala daerah dalam Pilkada 2015, ditangkap penyidik KPK pada Senin (4/6/2018). Tasdi yang juga kader PDI Perjuangan diduga menerima suap dari pihak swasta terkait proyek Islamic Center, yang sedianya akan dimanfaatkan untuk manasik haji.
Pemkab Purbalingga menargetkan, bangunan tersebut selesai pada 2019. Selain untuk manasik haji, gedung akan difungsikan sebagai tempat pemberangkatan dan penjemputan jemaah haji. Menurut rencana, anggaran total pembangunan gedung itu mencapai Rp 77 miliar. (Kompas, 5/6/2018)