Gerakan Pemilih Rasional Minta Komitmen Kedua Capres
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah aktivis dan pakar hukum, hak asasi manusia, dan lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Pemilih Rasional meminta komitmen dan keseriusan kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terkait penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi.
Sebagian di antara hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Bedah Visi Misi Capres & Cawapres bagian pertama yang diselenggarakan di D Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (16/1/2019). Diskusi tersebut mengambil tema, “Menelisik Visi-Misi Capres: Karena Penegakan Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi Tidak Boleh sekadar Wacana".
Para pembicara yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Prof Dr Hariadi Kartodiharjo (Jaringan Guru Besar Anti Korupsi), Emerson Yuntho (ICW), M Ridha Saleh (Mantan Wakil Ketua Komnas HAM), Henri Subagyo (Direktur ICEL), Dr AH Semendawai (Mantan Ketua LPSK), Chalid Muhammad (Ketua Institut Hijau Indonesia), Muhnur (Praktisi Hukum), dan Ray Rangkuti (LIMA INDONESIA).
Salah satu topik yang cukup mengemuka terkait dengan pemberantasan korupsi. Emerson menyebutkan, berdasarkan evaluasi pemerintahan selama ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia masih terus dicengkeram praktik korupsi.
Ini misalnya terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International dalam laporan terakhir yang menurut Emerson tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun sebelumnya, dengan skor 37. “Ini masih di stadium 3,” kata Emerson mengibaratkan akutnya praktik korupsi di Indonesia.
Menurutnya, hal itu terjadi karena upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan cenderung hanya mengandalkan KPK. Adapun, peran kepolisian dan kejaksaan, imbuh Emerson, relatif belum terlihat.
Hal lain yang juga mesti mendapat perhatian dari kedua pasangan calon ialah, mesti dijelaskan dan didetailkannya rencana penguatan KPK. Emerson khawatir, jika apa yang dimaksud dengan penguatan KPK itu tidak dijelaskan maka dapat menimbulkan salah tafsir.
Salah satu kemungkinannya adalah, bisa saja hal itu diartikan segera dilakukan revisi UU KPK. Padahal, imbuh Emerson, revisi UU KPK bukanlah yang diperlukan dan diinginkan masyarakat sipil hari ini menyusul relatif berseberangannya sebagian anggota DPR dengan keberadaan KPK.
Kejahatan lingkungan
Sementara itu, praktisi hukum Muhnur menyoroti masih luputnya perhatian selama ini untuk membidik kasus-kasus kejahatan lingkungan, sebagai kasus yang juga berhubungan dengan kejahatan ekonomi. Hal ini penting untuk mengungkap siapa-siapa saja sesungguhnya yang beroleh keuntungan ekonomi dari praktik kejahatan lingkungan
Ia melihat, kemauan politik dan konsolidasi hukum yang kuat menjadi prasyarat untuk mencapai hal tersebut. Muhnur melihat, visi misi pasangan calon nomor urut 01 dilihatnya tidak mencantumkan capaian terkait hal tersebut.
“(Sementara) Paslon (nomor) dua lebih general (umum) dan menjadi satu subsistem budaya dan lingkungan hidup,” ujar Muhnur. Menurutnya hal tersebut merupakan indikasi bahwa isu lingkungan hidup belum menjadi hal strategis yang bagus untuk dibahas.
Adapun Chalid mengingatkan, terkait penegakan hukum lingkungan, hal yang saat ini mesti dijaga adalah jaminan agar sekitar 40 juta orang di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan agar bisa menghirup udara bersih.
Chalid mengatakan, hal itu terkait dengan mulai ditegakkannya hukum lingkungan, sebagian di antaranya berupa sanksi yang diberikan pada pengusaha sawit dan mereka yang membuka lahan gambut. Chalid menandaskan, setelah sekian tahun sebagian warga di sejumlah provinsi tadi hidup dalam kepungan asap menyusul pembukaan lahan gambut secara besar-besaran, kini mereka mulai bisa bernapas lega.
“Begitu mereka (sebagian pengusaha) diberi sanksi triliunan rupiah, sekarang tidak berani lagi (membakar) lahan gambut,” kata Chalid.
Ia menambahkan, saat ini jumlah titik api di sejumlah wilayah tersebut turun hingga 95 persen jika dibandingkan tahun 215. Hal ini, imbuh Chalid, idealnya diteruskan selama para paslon tidak memiliki konflik kepentingan dengan lahan-lahan tersebut.