SURABAYA, KOMPAS – Pemilihan Umum 2019 terutama kontestasi antara Presiden Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah membuat polarisasi yang tajam di kalangan masyarakat. Keutuhan bangsa dan negara seakan dipertaruhkan oleh sekadar perbedaan pilihan dalam menentukan pemimpin nasional.
Untuk itu, masyarakat perlu diingatkan kembali tentang semangat kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia dimerdekakan atau dilahirkan dalam kondisi masyarakat yang berbeda. Perbedaan suku, agama, ras, antargolongan (SARA) merupakan keniscayaan dan sebaiknya tidak dipertentangkan yang mengancam keutuhan masyarakat.
Gerakan Suluh Kebangsaan yang dimotori oleh kalangan tokoh masyarakat melihat ada potensi perpecahan akibat politik identitas yang ternyata terdorong oleh dekatnya kontestasi untuk memilih Presiden-Wakil Presiden. Untuk itu, gaung pentingnya kebersamaan, toleransi, gotong royong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu terus diadakan.
“Makna besar dalam toleransi atau pluraisme itu bukan menukar keyakinan atau kepercayaan melainkan menerima perbedaan,” kata Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan Prof Mohammad Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi di sela Sarasehan Kebangsaan, Rabu (16/1/2019), di Surabaya, Jawa Timur.
Gerakan Suluh Kebangsaan, lanjut Mahfud yang pernah menjabat Menteri Pertahanan lalu Menteri Hukum dan Perundang-undangan dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, diawali dari keprihatinan kalangan tokoh masyarakat tentang potensi perpecahan komponen bangsa terutama mendekati pemungutan suara Pemilihan Umum 2019.
Kemudian, gerakan coba diwujudkan dalam sarasehan kebangsaan di kota-kota di Indonesia yang dimulai dari Surabaya. Peserta sarasehan adalah tokoh komunitas, pimpinan lembaga, yang dinilai masih mau memperbincangkan dan menyebarkan kembali pentingnya nilai-nilai keberagaman, kebersamaan, toleransi, dan pluralisme.
Mahfud mengatakan, bangsa Indonesia “membayar” amat sangat mahal untuk merdeka pada 17 Agustus 1945. Bukan sekadar sumber daya alam melainkan pula nyawa-nyawa para pejuang. Proses mempertahankan kemerdekaan juga banyak meminta tumbal kehidupan rakyat. Namun, Indonesia tetap dan masih berdiri. Itu karena rakyat mau menerima perbedaan lalu hidup dalam toleransi dalam rumah besar bernama Republik Indonesia.
Mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid mengingatkan, kebangsaan dan kenegaraan terkait dengan hati dan perasaan rakyat. Itu bisa diibaratkan sebagai sepasang kekasih dengan berlatar belakang berbeda tetapi membangun ikrar untuk hidup bersama dan bahagia dalam rumah besar yang dalam konteks ini adalah Republik Indonesia. “Jika ada tindakan menyakiti menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara,” ujarnya.
Jika ada tindakan menyakiti menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara
Politik identitas
Sayangnya, saat ini, muncul ancaman tadi dari politik identitas yang mengedepankan ikatan primordial (SARA). Kondisi ini menjalar hingga terciptanya kubu-kubu dalam kontestasi Pilpres. Perbedaan pilihan, kata rohaniwan RD Benny Susetyo, malah menciptakan permusuhan dan kebencian. “Ada ketakutan dan ancaman keharmonisan,” katanya.
Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Katjung Maridjan menambahkan, kontestasi yang hanya memunculkan dua kandidat membuat polarisasi menjadi tajam. Publik yang terbelah dalam kubu-kubu seakan melihat bahwa kontestasi bukan sebagai kepentingan bersama untuk mencari yang terbaik melainkan bagaimana mencari kemenangan untuk sosok pilihan.
“Sebagian masyarakat terjebak dalam paradigma atau yang mengedepankan bahwa perbedaan harus disikapi secara radikal. Padahal, yang tepat adalah paradigma dan. Indonesia tidak akan berdiri karena agama ini atau agama itu, Jawa atau Sumatera atau Kalimantan, misalnya. Indonesia berdiri karena Islam dan Kristen dan Katolik dan Hindu dan Buddha dan Konghucu dan kepercayaan dan Jawa dan Sumatera dan Kalimantan dan sebagainya,” kata Katjung.
Guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Abd A’la berharap, masyarakat tidak ribut-ribut lagi setelah kontestasi berakhir dengan munculnya pemimpin nasional terpilih. Masyarakat patut menerima hasil. Tidak ada yang menang atau kalah akibat kontestasi itu karena menyangkut kepentingan rakyat yang harus mendapatkan Presiden-Wakil Presiden periode mendatang.
“Jangan habiskan energi untuk saling berkelahi. Perbedaan itu keniscayaan dan tidak perlu dijadikan permusuhan yang malah mengancam ketentraman hidup saat ini,” ujarnya.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang Syamsul Arifin mengatakan, energi masyarakat terhadap kontestasi lebih banyak keluar untuk mengikuti Pilpres. Padahal, Pemilu juga untuk mendapatkan anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Rakyat patut melihat bahwa memilih anggota legislatif juga penting selain memilih Presiden-Wakil Presiden.