Kesetiaan Bruder Kristoforus Pudiharjo OFM untuk Pertanian Organik
Segala sesuatu terkait dengan pertanian selalu menarik perhatian Bruder Kristoforus Pudiharjo OFM. Selama puluhan tahun, dia menggeluti pertanian organik. Beberapa waktu terakhir, di Kebun Organik Ciloto, Pudi mengembangkan budidaya bawang putih lokal.
Minggu (13/1/2019) pagi, Pudi yang mengenakan sweater putih, celana coklat dan sepatu boot kuning, berkeliling mengawasi Kebun Organik Ciloto yang terletak di Desa Ciloto, Kecamatan Cimacan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tanaman sayuran organik, bawang putih, dan pohon sengon memenuhi kebun seluas 3 hektar itu. Setiap seratus meter, Pudi membangun pos untuk tempat mengolah atau menyimpan pupuk organik.
Tanaman sayur kol dibiarkan tumbuh dengan rumput-rumput liar. Sedangkan, tanaman bawang putih lokal yang berusia satu bulan berjajar rapi di sebagian lahan kebun. Dalam dua bulan, bawang putih lokal sudah bisa dipanen. Selain itu, sebidang tanah ditanami cabai keriting. Pudi juga menanam azolla microphylla di sebidang kolam, yang digunakan untuk pakan ikan atau ayam.
Di bagian depan kebun yang hanya berjarak 50 meter dari Jalan Raya Puncak-Cianjur, ada sebuh pos yang dipenuhi tanaman hidroponik bawang putih lokal. Dengan telaten, Pudi mengecek satu per satu tanamannya. Dia mengajarkan bagaimana membuat tanaman hidroponik bawang putih lokal. Botol plastik diisi pupuk cair yang diolah dari sisa-sisa makanan. Lalu, bagian atas botol plastik diisi dengan kompos dan kain untuk dihubungkan dengan pupuk cair.
Pudi yang tinggal di Panti Asuhan St Yusup Sindanglaya, Cipanas, Jawa Barat, mengumpulkan sisa-sisa makanan dari panti yang dihuni sekitar 200 anak ini. Selama sehari, mereka bisa mengumpulkan sisa makanan sekitar 20 kilogram yang kemudian diolah menjadi pupuk cair.
“Banyak yang bertanya, bagaimana mengupas bawang putih lokal yang kecil ini. Padahal, tanpa dikupas pun, bawang putih ini sudah bisa langsung dipakai. Rasanya juga lebih enak untuk masakan,” ujar Pudi.
Pudi menceritakan, bawang putih lokal hidroponik ini sudah diterapkan oleh komunitas ibu-ibu di Cililitan, Jakarta Timur. “Kalau ada seratus botol satu rumah saja, hasilnya cukup lumayan, bisa dijual. Saya sering berbicara di depan puluhan orang, nanti yang mengikuti mungkin hanya satu sampai empat orang, tetapi ya tidak apa-apa,” kata Pudi.
Tak pernah mengenal kata lelah, Pudi terus berkampanye mengenai pertanian organik. Berbagai komunitas dimasukinya, mulai dari komunitas gereja, masjid, ibu-ibu pengajian sampai pesantren. Bukan hanya di sekitar Ciloto, Pudi juga diundang ke beberapa kota, salah satunya pernah diundang Pondok Pesantren Al-Zaytun, di Indramayu.
“Di sekitar sini, ada 14 pesantren yang sudah saya masuki untuk mengenalkan pertanian organik ini. Mereka semua menerima kami dengan baik,” katanya.
Tahun 2011, saat Pudi mendapat kepastian untuk bisa mengelola kebun, pertama kali yang dilakukannya adalah mendekati masyarakat setempat. Masyarakat di sekitar Ciloto mencari penghasilan dari membuka warung atau kerja bangunan. Pelan-pelan, Pudi mendekati mereka untuk menanam sayuran organik. Harapannya, hasil sayuran organik bisa dijual dengan harga yang pasti sehingga bisa membantu perekonomian masyarakat setempat.
“Saat-saat tidak ada kerja bangunan atau warung libur, masyarakat boleh menanam sayuran di kebun ini, yang penting organik. Dengan begitu, saya bisa membantu memasarkan hasil panen sayuran mereka,” ujarnya.
Pada tahun ini, Pudi sedikit demi sedikit menata kebun yang sebelumnya menjadi semak belukar karena ditelantarkan pemiliknya. Sebelumnya, tanah itu dimiliki oleh seorang warga negara asing (WNA).
Mengajarkan kemandirian
Sejak kuliah, Pudi sudah tertarik dengan bidang pertanian. Setelah lulus, dia bekerja menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Lalu, sekitar tahun 1990-an, Pudi memutuskan untuk menjadi bruder.
Tahun 1997, Pudi ditugaskan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dia mulai merintis mengembangkan padi organik. Saat itulah, dia mendapat pengalaman yang membuatnya semakin bersemangat menekuni pertanian organik. Seorang ibu yang sakit pendarahan karena sering mengonsumsi sayuran yang ditanam dengan pupuk kimia.
“Hal itu menyemangati saya untuk terus menekuni pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya sama dengan senjata organik yang melekat pada pemiliknya. Pertanian organik melekat pada perilaku orangnya,” kata dia.
Dari situ, dia sering bertemu dengan para pecinta organik dan peneliti-peneliti pertanian organik. “Memang tidak mudah, karena kami melawan arus, kita gerakan di bawah saja. Kami difasilitasi oleh Bambang Ismawan, salah satu pendiri Majalah Trubus, untuk bertemu dan saling berdiskusi,” ujarnya.
Dalam setiap kesempatan mensosialisasikan pertanian organik, Pudi selalu menekankan kemandirian. “Teknologi untuk orang miskin, apakah kita bisa buat sendiri atau tidak. Jangan sampai bumi itu diperas habis,” kata dia.
Pudi menceritakan, suatu saat dirinya diundang oleh seorang pendeta di Manado untuk membantu meningkatkan penghasilan para petani. Selama satu minggu, dia melatih para petani untuk menyemaikan benih, dan membuat pupuk organik. Tiba-tiba, ada seorang petani yang bertanya bagaimana cara menghilangkan enceng gondok yang menganggu hasil pertanian.
“Teknologi untuk orang miskin, apakah kita bisa buat sendiri atau tidak. Jangan sampai bumi itu diperas habis,” kata dia.
“Saya minta petani itu untuk membawa dua karung enceng gondok, lalu difermentasi. Setelah lima hari, enceng gondok itu dipakai untuk pakan babi. Hampir semua petani punya peliharaan babi. Nah di situlah mutiara terpendamnya, enceng gondok bisa dipakai untuk yang lain, hasil pertanian pun meningkat,” kata dia.
Tahun 2015, Pudi mengembangkan urban farming (pertanian perkotaan) dengan mengajarkan penduduk kota untuk membuat hidroponik dengan pupuk cair yang dibuat dari sisa makanan. Untuk memudahkan sosialisasinya, Pudi menulis buku panduan Menanam Makanannya Sendiri. Dalam buku itu dijelaskan setiap tahapan pertanian perkotaan yang bisa dilakukan dengan sistem hidroponik, sistem pot, atau gabungan keduanya.
Bruder Kristoforus Pudiharjo OFM
Lahir: Wonogiri, 31 Maret 1958
Pendidikan:
- SD-SMP di Wonogiri
- SMA Negeri 5 Jakarta
- S1 Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Pengalaman:
- 2000-2005 Kepala Sekolah SMK Fransiskus Jakarta
- 2005-2010 Mengelola tanaman padi organik di Sentul, Bogor
- 2011-sekarang Pusat Pelatihan Pertanian Organik, Kebun Organik Ciloto, Cianjur