KPU Putuskan Oesman Sapta Tidak Masuk Daftar Calon Tetap
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum memutuskan untuk tidak memasukkan nama Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Oesman Sapta Odang ke dalam daftar calon tetap dan surat suara anggota Dewan Perwakilan Daerah Pemilihan Umum 2019. Namun, KPU masih dapat memasukkan nama Oesman Sapta jika Oesman bersedia mengundurkan diri dari kepengurusan partai.
Anggota KPU, Ilham Saputra, di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (16/1/2019), mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan larangan pengurus partai politik untuk menjadi calon anggota DPD menjadi dasar putusan KPU untuk tidak memasukkan nama Oesman Sapta ke dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019. Oesman Sapta saat ini merupakan Ketua Umum Partai Hanura.
”Prinsipnya tetap sama pada keputusan kami kemarin bahwa kami masih menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Jika OSO (Oesman Sapta Odang) masuk ke dalam DCT, maka harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari kepengurusan partai,” ujar Ilham.
Ilham juga menegaskan bahwa pengunduran diri Oesman Sapta diserahkan di awal pencalonan, bukan saat terpilih menjadi anggota DPD. Hal itu sekaligus membuat KPU menolak perintah Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Putusan Bawaslu dalam sidang terbuka gugatan Oesman Sapta terhadap KPU pada Rabu (9/1/2019) ialah memerintahkan KPU untuk memasukkan nama Oesman Sapta Odang dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019. Namun, Oesman harus mundur dari kepengurusan partai jika terpilih sebagai anggota DPD.
Jika KPU menjalankan putusan Bawaslu, maka KPU melakukan pelanggaran administrasi baru, yaitu menerapkan sebuah aturan yang tidak ada dasar hukumnya.
Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, menuturkan, KPU perlu segera menyiapkan Surat Keputusan DCT DPR RI untuk memulihkan hak konstitusional calon anggota DPD lainnya. Sebab, saat ini tidak ada calon anggota DPD RI akibat dicabutnya Surat Keputusan KPU Nomor 1130 tentang penetapan DCT perseorangan pemilu anggota DPD RI tahun 2019 oleh PTUN.
Terkait dengan hal itu, Ilham menyatakan, KPU akan segera menyiapkan Surat Keputusan DCT anggota DPD yang baru.
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan, putusan KPU akan segera dikirimkan kepada pihak Oesman Sapta dan Bawaslu hari ini. Namun, menurut Wahyu, masih ada kemungkinan KPU memasukkan nama Oesman Sapta jika Oesman bersedia mengundurkan diri dari kepengurusan partai. Oesman Sapta diberi waktu hingga 22 Januari 2019 untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya.
Keputusan KPU yang tidak memasukkan nama Oesman Sapta mendapat penolakan dari para pendukung Oesman. Puluhan orang yang mendeklarasikan diri sebagai Aksi Bela OSO itu mendatangi KPU untuk menyampaikan rasa keberatan.
Dalam orasinya, massa meminta KPU memasukkan nama Oesman Sapta dalam DCT sesuai dengan perintah PTUN dan Bawaslu. Keputusan KPU itu juga telah melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan KPU harus melaksanakan putusan Bawaslu.
Langkah tepat
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, keputusan KPU itu merupakan sebuah langkah yang tepat karena KPU berada di antara empat putusan yang ada, yakni MK, Mahkamah Agung, PTUN, dan Bawaslu, terkait dengan dugaan pelanggaran administrasi.
Oleh karena itu, kata Titi, KPU juga harus mengambil putusan yang paling dekat dengan konstitusi. Sebab, pemilu yang konstitusional hanya akan bisa diterima publik jika penyelenggaraan dan tata laksana pemilu didasarkan pada nilai-nilai konstitusi.
”Ini tidak bisa dimaknai sebagai perlawanan terhadap putusan Bawaslu. Tetapi, situasi yang memang harus diambil oleh KPU di tengah kondisi pilihan hukum yang tidak sejalan satu sama lain. Jika KPU menjalankan putusan Bawaslu, maka KPU melakukan pelanggaran administrasi baru, yaitu menerapkan sebuah aturan yang tidak ada dasar hukumnya,” paparnya.
Titi menambahkan, berlarut-larutnya perkara ini sangat merugikan para pemilih karena seharusnya mereka bisa mendapatkan calon-calon anggota DPD yang bebas dari pengurus partai dan berkepastian hukum. Pemilih juga dihadapkan pada opini hukum, seperti ketidaksahan calon anggota DPD.
”Situasi ini membuat pemilu kita dihadapkan pada kekuatan di atas konstitusi. Padahal, jangan sampai ada warga negara yang berada di atas konstitusi. Hal ini juga dapat merugikan tata kelola pemilu yang konstitusional,” ungkapnya.