Lepaskan Pesta Demokrasi dari Pendanaan Industri Ekstraktif
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendanaan politik saat ini diduga masih erat bersumber dari industri-industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan. Kebutuhan modal awal politisi untuk mencukupi kebutuhan biaya politik yang sangat tinggi ini telah menciptakan politik balas budi.
Korporasi tersebut akan menagih balasan atas pemberian dana saat kampanye dari politisi/calon yang didukungnya. Kemudian, itu direspons politisi maupun calon yang telah berhasil menduduki kursi eksekutif maupun legislatif untuk menggunakan kewenangan dan kekuasaannya untuk melancarkan usaha korporasi tersebut.
“Kalau pesta demokrasi masih didominasi uang-uang ekstraktif bagaimana mereka (politisi) akan membicarakan masalah lingkungan dan hutan,” kata Saras Dewi, Pengajar Filsafat Lingkungan, Universitas Indonesia, Selasa (15/1/2019) di Jakarta.
Kalau pesta demokrasi masih didominasi uang-uang ekstraktif bagaimana mereka (politisi) akan membicarakan masalah lingkungan dan hutan.
Ia menjadi pembicara dalam diskusi di sela-sela peluncuran Golongan Hutan. Golongan Hutan merupakan kolaborasi sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kemitraan/Partnership, Greenpeace, Change.org, EcoNusa, Rekam Nusantara Foundation, HuMa, Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Coaction Indonesia. gerakan ini berupa ajakan kepada pemilih untuk ikut menelusuri kandidat Pemilu 2019 tentang sikap dan posisinya terhadap penggundulan hutan.
Pagi harinya, Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Yayasan Auriga Nusantara, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan aksi teatrikal #BersihkanIndonesia di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu. Ini untuk mendesak para calon presiden mengakhiri praktik pendanaan politik di bisnis batubara yang berdampak pada perilaku korupsi.
Saras Dewi mengatakan ketergantungan pendanaan partai politik dan kegiatan politik oleh korporasi ini sangat menyedihkan. Kondisi ini diciptakan juga oleh keterlibatan masyarakat untuk menaruh perhatian pada kegiatan politik sangat rendah sehingga korporasi masuk ke partai-partai.
“Ini problem serius. Belum lagi mereka yang menjadi komisaris atau pemilik pertambangan duduk dalam pemerintahan maupun legislatif. Itu sarat konflik kepentingan,” kata dia.
Sebagai jalan keluar, publik diminta tak lagi apatis dan terlibat aktif menyuarakan maupun mengawal perjalanan politik. Namun tantangan saat ini, derasnya kabar hoaks dan apatisme semakin menguntungkan para oknum untuk memenuhi kepentingan golongan/bisnis ekstraktifnya.
Tata Mustasya, Koordinator Regional Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan kedua calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung masih terbelenggu dengan kepentingan industri ekstraktif, khususnya batubara. Contohnya, sejumlah orang kunci maupun orang dekat hingga calon tersebut memiliki usaha di bidang tambang batubara hingga pembangkit listrik tenaga uap.
Ia mengatakan belenggu industri batubara terbukti membuat Indonesia tak bisa lepas dari ketergantungan energi kotor tersebut. Kemajuan pengembangan energi baru dan terbarukan melambat sedangkan ambisi membangun 35.000 MW sebanyak 60 persen diisi dengan PLTU yang berbahan-bakar batubara.
Tak heran, lanjut Tata, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 untuk menurunkan produksi hingga 406 juta ton pada 2018 malah produksinya mencapai 500 juta ton. Di sisi lain, di lapangan seperti di Kalimantan Timur, sejak tahun 2011 telah menyebabkan 30 anak meninggal karena tersebur di lubang tambang batubara. “Belum lagi di hilir, batubara menyebabkan pencemaran udara dan perairan laut,” ujarnya.
Iqbal Damanik, peneliti Auriga, mengatakan pendanaan kampanye dari korupsi politik – terutama relasi kuasa-bisnis pertambangan – merusak demokrasi di Indonesia. “Kami mendesak agar Bawaslu dengan kewenangannya menekan kedua calon untuk membuka sumber pendanaan secara transparan,” ungkapnya.