JAKARTA, KOMPAS – Pengungkapan kasus prostitusi dalam jaringan oleh kepolisian yang dimuat di sejumlah media akhir-akhir ini dinilai terlalu berlebihan dan tidak sensitif jender, bahkan bias jender. Media cenderung mengeksploitasi perempuan terutama yang terkait unsur seksualitas, serta melakukan penghakiman, ketimbang mengedukasi masyarakat.
Bahkan, media dinilai tidak berimbang, karena hanya sedikit sekali menyinggung peran laki-laki yang terlibat dalam kasus prostitusi dalam jaringan. Agar publikasi yang berlebihan tidak terus berulang, media diharapkan mengedepankan prinsip-prinsip jurnalistik dan menjalankan kode etik jurnalistik.
Hal ini terungkap dalam perbincangan di Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Rabu (16/1/2019), di Jakarta. Acara yang dipandu Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dihadiri Ajun Komisaris Besar Rita Wulandari Wibowo (Kepala Unit 4 Subdit 1, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Kepolisian Negara RI), Livia Istania DF Iskandar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), dan Winarto (peneliti Dewan Pers).
“Beberapa waktu lalu Komnas Perempuan menyampaikan siaran pers yang intinya kami keberatan dengan adanya pemberitaan prostitusi online, yang menyebutkan nama seseorang secara jelas dalam situasi penyelidikan, nama dibeberkan secara jelas. Kami melihat sebagai eksploitasi terhadap isu perempuan,” ujar Mariana.
Dari kajian Komnas Perempuan beberapa waktu lalu, ada sejumlah media yang dinilai melanggar kode etik jurnalisme, serta pemuatan berita yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara seksual, terutama korban. Dalam analisa media tersebut, masih banyak media yang saat memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, tidak berpihak pada korban.
Bahkan pemberitaan media dinilai seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa korban ‘pantas’ menjadi korban kekerasan dan pantas untuk dihakimi.
Fungsi pers
Menurut Winarto, doktrin kabar buruk adalah berita baik hingga kini masih lekat dengan media. Selama ini ada tiga hal yang selalu menjadi perhatian media yakni konflik, kejahatan, dan seks. Dalam bekerja, seharusnya semua jurnalis memahami fungsi pers, namun realitanya tidak seperti itu sehingga terjadi pelanggaran kode etik.
“Bayangkan ketika dipaparkan luar biasa kemudian ada kesalahan informasi, kerusakan sudah sudah diperbaiki. Karena itu media tetap harus hati-hati,” kata Winarto.
Karena itu, menurut Winarto, ada dua pertanyaan buat media yakni apakah dan sejauh mana peristiwa yang dipublikasikan berkaitan dengan kepentingan umum, lalu sejauh mana publik membutuhkan informasi.
Rita mengungkapkan ketika menangani kasus-kasus anak, polisi berupaya melakukan pengamanan total sehingga terlindungi dari publikasi media, sementara untuk kasus yang terkait perempuan dewasa masih ada kesulitan yang dihadapi polisi terutama terkait perkara asusila.
Dalam menangani kasus-kasus yang terkait perempuan, polisi terutama yang terkait Pelayanan Perempuan dan Anak (PPPA) mengendepan sensitif jender.
Livia mengungkapkan sesuai dengan amanat undang-undang, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bertanggungjawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban. Perlindungan diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual, dan penganiayaan berat.
“Kami ingin mengajak jurnalis sebagai pihak yang turut melindungi saksi dan korban dari pemberitaan yang menghakimi, dan menjalankan asas praduga tak bersalah,” kata Livia yang mencontohkan ada korban perkosaan yang dihakimi melalui publikasi di media.