Mengejar Pengambil Air Tanah, DKI Siapkan Alat Baru
Oleh
Irene sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta rencanakan penggunaan alat pengukuran baru untuk mengejar pengelola-pengelola gedung yang mengambil air tanah tak tercatat. Selama ini, selisih antara pengambilan secara riil dan penggunaan yang tercatat cukup tinggi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, teknologi baru untuk mengukur penggunaan air tanah di gedung-gedung merupakan salah satu upaya untuk mengawasi penggunaan air tanah di DKI Jakarta. Dengan alat manual yang digunakan selama ini, pihaknya sulit mendeteksi sumber air yang tak dicatatkan pengelola gedung.
Sejumlah gedung terindikasi menggunakan air tanah melebihi penggunaan yang tercatat. Hal ini karena adanya kejanggalan dalam penggunaan air tercatat dengan tingginya okupasi gedung.
"Hari ini kami seperti Tom and Jerry, kejar-kejaran cari-carinya. Karena gedung-gedungnya dalam laporan yang kami temukan, menurut catatan meter penggunaan air tanahnya sedikit, menurut catatan meter penggunaan air PAM juga sedikit, tapi jumlah penghuni dan kegiatannya banyak. Jadi pasti ada sumber ketiga. Tapi sumber ketiga itu sulit dideteksi," katanya usai membuka rapat kedua Joint Coordinating Comittee Penanggulangan Penurunan Tanah Jakarta di Balaikota DKI Jakarta, Rabu (16/1/2019).
"Hari ini kami seperti Tom and Jerry, kejar-kejaran cari-carinya"
(Anies Baswedan soal upaya menindak pengambilan air tanah tak tercatat)
Sekarang, kata Anies, Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta menyiapkan teknologi baru di mana penggunaan air bisa digunakan secara digital dan dimonitor. Penggunaan alat baru ini sudah dimasukkan dalam perencanaan 2019. Dengan alat ini tak perlu lagi petugas secara manual mengecek karena datanya akan otomatis terkirim. Selain itu, sidak penggunaan air tanah juga masih akan dilanjutkan.
Menurut Anies, terkait penurunan tanah, pihaknya fokus pada mitigasi dan penanganan pada tanah yang sudah mengalami penurunan. Hal ini meliputi menyusun tindakan dan kebijakan untuk pembatasan pengambilan air tanah, dan alternatif penyediaan sumber air bersih.
Langkah selanjutnya adalah menyusun strategi adaptasi. "Bagaimana investigasi kerusakan akibat penurunan muka air tanah. Kemudian ada bagian peningkatan kesadaran, lalu juga untuk organisasi pengelolaan antarlembaganya," katanya.
Anies mengatakan, penurunan muka tanah juga punya konsekuensi pada melubernya air dari laut ke daratan ketika terjadi air pasang. Oleh karena itu, tanggul pantai harus dituntaskan sebagai perlindungan. Adapun perlu tidaknya giant sea wall masih dalam kajian karena banyak studi yang sekarang justru mempertanyakan kembali kemanfaatan dari proyek raksasa tersebut.
Dalam pembangunan tanggul pantai, Anies menekankan pentingnya warga sekitar diajak bicara sehingga pembangunannya juga tak mengganggu kehidupan warga. Dengan pembangunan yang tak mengganggu kehidupan, maka perusakan tanggul juga tak terjadi.
Peneliti dari Program Penelitian Kelompok Keahlian Geodesi Institut Teknologi Bandung Heri Andreas, dalam penelitiannya yang disajikan di rapat tersebut, mengatakan penurunan muka tanah di Jakarta terjadi sejak 1975 sampai sekarang. Dari pendataan 1925-1975, penurunan tak terlalu signifikan.
Selama periode 1975-2005, hasil pengukuran penurunan muka tanah terjadi bervariasi di beberapa lokasi. Di Pluit, penurunan muka tanah mencapai 4 meter, Daan Mogot sekitar 2,75 meter, di Kelapa Gading sekitar 2,45 meter dan di Marunda sekitar 1,6 meter.
Penurunan ini tak hanya di Jakarta, namun juga di banyak tempat di Pulah Jawa, seperti di Blanakan, Pekalongan, Semarang, Demak dam Surabaya. Dari penelitian itu, faktor penyebab terbesar adalah kegiatan manusia, mencapai 80-90 persen.