LONDON, RABU — Mayoritas anggota parlemen Inggris menolak kesepakatan Brexit yang ditandatangani Perdana Menteri Theresa May dengan Uni Eropa. Sebanyak 432 anggota parlemen menolak dan 202 mendukung rencana May dalam pemungutan suara yang digelar Selasa (15/1/2019) waktu setempat.
Bahkan, lebih dari 100 anggota Partai Konservatif pimpinan May turut menolak strategi yang ”menceraikan” Inggris dari UE secara ”ramah”. Hasil pemungutan suara itu merupakan kekalahan terbesar Pemerintah Inggris dalam parlemen sejak 1924, yang saat itu kalah dengan perbedaan 166 suara.
Mengingat batas waktu implementasi Brexit tersisa kurang dari tiga bulan, hasil pemungutan suara itu semakin meningkatkan kemungkinan Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan. Hal itu dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko ekonomi bagi Inggris.
”Risiko keluarnya Inggris tanpa kesepakatan semakin besar dengan adanya hasil pemungutan suara itu,” kata Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, seperti dikutip dari Reuters.
”Apabila kesepakatan tidak mungkin (diperoleh), dan tidak ada yang menginginkan kesepakatan, siapa yang akan memiliki keberanian untuk menyatakan solusi yang positif?” tulis Presiden UE Donald Tusk dalam akun Twitter-nya.
Mosi tidak percaya
Seusai pengumuman hasil pemungutan suara, Jeremy Corbyn, pemimpin oposisi di Parlemen Inggris, menyuarakan mosi tidak percaya kepada pemerintahan May. ”Ini adalah kekalahan katastrofik bagi pemerintah. Setelah 2,5 tahun gagal, dia (May) tidak mampu menegosiasikan kesepakatan yang baik untuk warga Inggris,” kata Corbyn.
Setelah mosi tidak percaya—yang menurut rencana diperdebatkan Rabu (16/1/2019) waktu setempat—dilayangkan, bakal ada 14 hari bagi partai-partai untuk mendapatkan mayoritas di parlemen. Jika hal itu tak terwujud, mosi tidak percaya selanjutnya diusulkan pada saat pemilu (Kompas, 15/1/2019).
Jika pun pada pemilu tetap gagal digulirkan mosi tidak percaya, pemimpin Partai Buruh itu akan melihat kemungkinan untuk mendukung referendum lain.
Menghormati referendum
Di sisi lain, May menjanjikan akan menggelar lebih banyak diskusi dengan anggota parlemen dan menemukan ide yang ”benar-benar bisa dinegosiasikan dan memperoleh dukungan yang cukup dari parlemen”. ”Jika pertemuan ini menghasilkan ide seperti itu, pemerintah kemudian akan melihat ide itu dengan Uni Eropa,” ujar May.
Ia melanjutkan, ”Jelas bahwa parlemen tidak mendukung kesepakatan ini. Tetapi, hasil pemungutan suara ini tidak menunjukkan apa yang ia dukung. Tidak menunjukkan bagaimana atau apabila ia berniat menghormati keputusan Referendum Brexit.” Ia tetap percaya, Brexit terbaik adalah dengan keluar secara ”teratur” dan melalui ”kesepakatan yang baik”.
”Hari-hari berlangsung tanpa ada solusi untuk isu Brexit. Ini menimbulkan lebih banyak ketidakpastian, kepahitan, dan dendam. Saya minta anggota kedua pihak parlemen untuk mendengarkan warga Inggris, yang ingin isu ini diselesaikan,” kata May. Ia punya waktu hingga Senin (21/1/2019) depan untuk mempresentasikan rencana solusi lain kepada parlemen.
Sebelumnya, May menyatakan, kesepakatan Brexit yang ia tandatangani dengan UE memang tidak sempurna dan merupakan kompromi. Kesepakatan yang mengedepankan hubungan ekonomi erat dengan UE itu dikritik keras banyak pihak karena dianggap dapat menjebak Inggris dalam perjanjian perdagangan yang merugikan. Ada pula yang menolak kesepakatan itu karena mengatur perbatasan wilayah Irlandia Utara dan Republik Irlandia dan dinilai dapat merusak kesatuan wilayah Inggris.
Di sisi lain, May dan UE tidak menginginkan Inggris keluar dari UE, yang direncanakan pada 29 Maret 2019, terjadi tanpa kesepakatan. Para ahli memperkirakan, Brexit tanpa kesepakatan dapat merusak perekonomian.
”Semakin lama drama politik Brexit ini berlanjut, Inggris menjadi semakin tidak menarik di mata para investor,” ujar Iain Anderson, Ketua Eksekutif Cicero Group, perusahaan konsultan, seperti dikutip dari The New York Times.
Drama politik
Menurut John Allan, Presiden CBI, organisasi kegiatan lobi, sebagian besar pengusaha Inggris berharap Brexit melahirkan kesepakatan baru walaupun kemungkinan itu sangat sulit. ”Pemerintah harus siap memimpin Brexit tanpa kesepakatan,” katanya.
”Mereka (Pemerintah Inggris) memberi kami suara untuk keluar dari Eropa. Sekarang, mereka menunda dan menunda. Itu hanya lelucon. Itu semua lelucon. Saya tidak percaya salah satu dari mereka,” kata Smith, warga Inggris.
Hingga 29 Maret 2019, opsi paling memungkinkan untuk May adalah meminta perpanjangan tenggat Brexit kepada Uni Eropa. Brussels tampaknya telah memberikan lampu hijau untuk memberikan tambahan waktu. Namun, tambahan waktu itu tak bisa melampaui 30 Juni 2019 karena akan ada pemilu legislatif Eropa yang pelaksanaannya tidak melibatkan Inggris lagi (Kompas, 16/1/2019).
Dengan adanya tenggat tambahan, May bisa mempersiapkan langkah berikutnya, yaitu pelaksanaan referendum kedua, percepatan pemilu, atau Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan. Namun, dalam setiap opsi yang diambil terdapat pendukung dan penentangnya. (REUTERS, AFP)