Pemerintah Perkuat Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah berupaya memperkuat kualitas pertumbuhan ekonomi empat tahun terakhir. Hal ini dilakukan dengan mengombinasikan antara ideologi dan aspek teknokratis.
"Pertumbuhan ekonomi layak diikhtiarkan. Tapi di atas segalanya, mutu atas pertumbuhan ekonomi mesti diperjuangkan," kata Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika di Jakarta, Rabu ( 16/01/2019).
Setiap tahun dalam asumsi dasar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pemerintah ditargetkan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Namun untuk menjaga agar pertumbuhan berkualitas, pemerintah juga ditargetkan menurunkan angka kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, dan ketimpangan ekonomi.
Pada masa Orde Baru, menurut Erani, Indonesia dikenal sebagai negara yang terampil mendorong pertumbuhan ekonomi. Indonesia bahkan pernah dijuluki Macan Asia karena mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi bersama Cina, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia.
Namun, Erani melanjutkan, sejarah juga mencatat Indonesia bukanlah negara yang terampil membagi kue ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cuma singgah pada lapis golongan atas masyarakat. "Sejak awal 2015 pemerintah berjuang agar model pembangunan semacam itu diakhiri," kata Erani.
Hasilnya, Erani menjelaskan, Indonesia selama 2015-2018 menjumpai era baru standar pembangunan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi diikuti dengan penurunan tiga penyakit ekonomi paling mematikan, yakni kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Secarav paralel, inflasi selalu bisa ditekan di bawah 3,6 persen selama 4 tahun berturut-turut.
Kemiskinan sejak Maret 2018 telah turun menjadi 9,82 persen. Ini pertama kalinya angka kemiskinan bisa ditekan di bawah 10 persen. Per September 2018 sebagaimana baru saja diumumkan oleh BPS, menurun lagi menjadi 9,66 persen.
Sejalan dengan itu, ketimpangan ekonomi juga turun. Rasio gini sebagai indikator, mencapai level terburuk per September 2014, yakni 0,414. Per September 2018, rasionya turun menjadi 0,384. Tingkat pengangguran terbuka juga turun. Saat ini, angkanya adalah 5,3 persen.
"Pencapaian ini hanya mungkin diperoleh lewat kombinasi kerja ideologis dan teknokratis," kata Erani.
Secara ideologis, Erani menambahkan, pemerintah menjalankan penuh mandat konstitusi agar hajat publik dimuliakan. Menumbuhkan ekonomi adalah perkara penting, namun membagi kesejahteraan juga mandat genting.
Secara teknokratis, rangkaian kebijakan dan program disusun secara sistematis dan dikawal dengan sigap. Tentu saja hasil ini belum sempurna, oleh karenanya ini adalah masa di mana kerja mesti diteruskan dan diperjuangkan.
Secara terpisah Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, melalui siaran persnya, menyoroti besarnya defisit perdagangan 2018. "Ini merupakan sebuah rekor kinerja perdagangan terburuk sepanjang sejarah," kata Faisal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, defisit perdagangan Indonesia tahun lalu mencapai 8,6 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Besarnya defisit disebabkan pertumbuhan ekspor melambat. Pada saat yang sama, impor tumbuh lebih cepat . Ekspor tumbuh 6,7 persen, jauh di bawah 2017 yang tumbuh 16,2 persen. Sementara impor mengalami akselerasi dari 15,7 persen di 2017 menjadi 20,2 persen di 2018.
Pendorong utama pelebaran defisit perdagangan di 2018 adalah pelebaran defisit di sektor migas yang mencapai 12,4 miliar dollar AS, dari 24,3 miliar dollar AS di 2017 menjadi 29,8 miliar dollar AS di 2018 atau tumbuh 22,6 persen.
Pada saat yang sama, surplus sektor nonmigas menurun, dari 20,4 miliar dollar AS di 2017 menjadi 3,8 miliar dollar AS di 2018 turun 81,4 persen. Kondisi ini didorong oleh dua sisi sekaligus, yakni pertumbuhan ekspor nonmigas yang jauh lebih lambat dan impor justru mengalami akselerasi tajam.
"Tantangan untuk memperbaiki kinerja perdagangan di tahun 2019 masih sangat besar," kata Faisal.
Tantangan itu, menurut Faisal terutama berasal dari faktor-faktor eksternal yang menekan ekspor di tahun 2018 masih akan berlanjut di 2019, khususnya perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama dan sentimen perang dagang. Tantangan lain adalah harga komoditas andalan diprediksi akan terus melemah di tahun 2019, termasuk di antaranya sawit, batubara, karet, dan tembaga.
Faktor lainnya adalah harga minyak yang potensial kembali meningkat di 2019 masih sangat terbuka. Proyeksi ini sejalan dengan rencana negara-negara OPEC dan Rusia untuk melakukan pengurangan produksi secara signifikan, walaupun kemungkinan besar peningkatan harga tidak akan melebihi rata-rata harga minyak di tahun 2018.
Tekanan terhadap rupiah yang mendorong lonjakan impor di tahun 2018, Faisal memprediksi, masih akan dirasakan di 2019. Meski demikian, kadarnya lebih rendah dibanding 2018.
Masih mengutip siaran pers CORE Indonesia, pemerintah masih dapat memperbaiki kinerja perdagangan, setidaknya untuk memperkecil defisit. Sejumlah kebijakan untuk meredam impor yang sudah dikeluarkan seperti kebijakan PPh 22 impor untuk barang konsumsi, program B20, maupun kebijakan TKDN, yang selama 2018 masih belum banyak terasa efektivitasnya, perlu dievaluasi, dipertajam dan diperkuat agar lebih terlihat efektivitasnya di tahun 2019.
Dalam jangka menengah panjang, CORE meyakini, pemerintah mutlak harus merevitalisasi industri manufaktur guna mendongkrak daya saing produk-produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur. Untuk jangka yang lebih pendek, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor non tradisional, sehingga ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar.