Perdagangan Jasa Potensial Kurangi Defisit Transaksi Berjalan
JAKARTA, KOMPAS – Perdagangan jasa potensial untuk mengurangi defisit transaksi berjalan Indonesia. Di tengah defisit neraca perdagangan barang, neraca perdagangan jasa justru menunjukkan tren positif.
Data Bank Dunia menunjukkan, sektor jasa pada 2017 berkontribusi sebesar 43,6 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi sektor jasa merupakan yang terbesar dibandingkan sektor manufaktur (21 persen) dan agrikultur (13 persen).
“Selama ini kita hanya terus membahas bagaimana meningkatkan ekspor barang. Padahal, potensi ekspor jasa sangat luar biasa untuk perekonomian Indonesia. Melalui sektor jasa, akan ada penciptaan nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja yang lebih besar,” kata mantan Menteri Perdagangan periode 2004-2011 Mari Elka Pangestu, di Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Mari Elka menyampaikan hal itu dalam diskusi “Potensi Sektor Jasa, Defisit Neraca Berjalan, dan Masa Depan”. Diskusi itu diadakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Center for Economics and Development Studies Universitas Padjajaran (CEDS Unpad).
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Desember 2018 defisit 8,57 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 120,6 triliun. Nilai itu merupakan defisit terdalam neraca perdagangan Indonesia sejak 1975. Defisit neraca perdagangan terutama disebabkan defisit neraca minyak dan gas bumi (migas). (Kompas, 16/1/2019)
Baca juga: Indonesia Alami Defisit Neraca Perdagangan Terbesar sejak 1975
Adapun defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018 sebesar 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB. Defisit ini lebih dalam dibandingkan dengan triwulan II-2018 yang sebesar 7,977 miliar dollar AS atau 3,02 persen PDB.
Mari menyampaikan, transaksi berjalan Indonesia 2018 memang masih defisit. Selain karena defisit neraca perdagangan, neraca jasa pun konsisten defisit sejak lama, setidaknya sejak 2004. Namun, tren menunjukkan adanya peningkatan ekspor jasa sehingga defisit neraca jasa cenderung mengecil.
Berdasarkan Data Bank Indonesia, nilai ekspor jasa pada 2017 sebesar 25 miliar dollar AS. Nilai ini meningkat 9,17 persen dibandingkan 2013. Dalam periode yang sama, meski impor jasa masih sebesar 33 miliar dollar AS pada 2017, namun angka ini turun 5,71 persen atau 2 juta miliar dollar AS dari 2013.
Mari menyampaikan, sektor jasa yang pertumbuhannya sangat positif adalah jasa perjalanan. Pada 2017, neraca jasa di sektor jasa perjalanan mencapai lebih dari 4 miliar dollar AS pada 2017. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan 2005.
“Tren pertumbuhan neraca perdagangan di sektor jasa perjalanan yang positif menunjukkan adanya peningkatan ekspor neto jasa perjalanan. Artinya, pengeluaran orang Indonesia yang keluar untuk jalan-jalan itu lebih kecil daripada konsumsi orang asing yang datang ke sini,” papar Mari.
Kita harus memikirkan, bagaimana caranya mengurangi impor jasa transportasi dan logistik.
Mari mengingatkan, defisit terbesar disumbang oleh jasa transportasi. Pada 2005, jasa transportasi menyumbang defisit lebih dari empat miliar dollar AS, jumlah ini terus meningkat dan mencapai lebih dari enam miliar dollar AS pada 2017.
“Jasa transportasi itu pertanyaan besar. Kita harus memikirkan, bagaimana caranya mengurangi impor jasa transportasi dan logistik. Itu berarti impor harus lebih efisien, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,” ujar Mari.
Data tidak terintegrasi
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Indonesia Iman Pambagyo menyampaikan, sektor jasa memang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Namun, ketersediaan data masih terbatas, khususnya data perdagangan internasional jasa.
“Selama ini, data perdagangan internasional sektor jasa masih mengandalkan data transaksi dalam neraca pembayaran. Kondisi data pun sangat agregat sehingga analisis mendalam berdasarkan sub sektor maupun mitra dagang sulit dilakukan,” kata Iman.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri juga mengatakan hal senada. Menurutnya, data di setiap sektor pemerintahan masih terkotak-kotakan.
Menurut Yose, setiap sektor tidak menganggap data mereka sebagai data yang komprehensif dan terintegrasi. Akibatnya, data yang dikumpulkan selama ini hanya melihat pada kepentingan dan keperluan setiap sektor, tanpa memikirkan kebutuhan sektor lain.
Setiap sektor tidak menganggap data mereka sebagai data yang komprehensif dan terintegrasi. Akibatnya, data yang dikumpulkan selama ini hanya melihat pada kepentingan dan keperluan setiap sektor, tanpa memikirkan kebutuhan sektor lain.
“Misalnya, data transportasi memang ada, tetapi kalau dilihat dari perspektif ekonomi, itu menjadi kehilangan makna. Maka, kalau mau membangun data, kita harus memikirkan, apa peranananya dalam perekonomian,” papar Yose.
Kondisi ini membuat pemerintah tidak dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya mengenai potensi ekspor jasa dan impor jasa Indonesia secara akurat. Akibatnya, muncul keraguan-keraguan dalam posisi runding sektor jasa Indonesia dalam perundingan perdagangan internasional.
Ketersediaan data dan informasi menjadi kepentingan yang semakin mendesak. Sebab, ke depannya, tren perundingan perdagangan internasional di sektor jasa akan membutuhkan data yang lebih lengkap. “Terutama untuk menentukan strategi offensive dan defensive Indonesia.
Maka, Iman menyampaikan bahwa ketersediaan data dan informasi menjadi kepentingan yang semakin mendesak. Sebab, ke depannya, tren perundingan perdagangan internasional di sektor jasa akan membutuhkan data yang lebih lengkap. “Terutama untuk menentukan strategi offensive dan defensive Indonesia,” ujarnya.
Iman mengatakan, untuk mengintegrasikan data dari berbagai sektor memang tidak dapat cepat, setidaknya perlu waktu lima tahun. Untuk itu, Kemendag sejak 2018 mulai memetakan keperluan data perdagangan internasional sektor-sektor jasa. Dalam prosesnya, Kemendag bekerja sama dengan CEDS Unpad.
“Selain itu, Kemendag juga akan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, khususnya BPS dan BI yang selama ini juga sudah membantu dalam memberikan data sektor jasa. Hal ini guna mewujudkan data perdagangan internasional sektor jasa yang lengkap dan akurat,” papar Iman. (SHARON PATRICIA)