Perlu Harmonisasi dalam Proses Hukum Penetapan Hutan Adat
Oleh
Khaerudin
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perkumpulan Huma Indonesia merekomendasikan adanya rekonstruksi kerangka hukum dalam penetapan hutan adat. Harmonisasi aturan hukum dari pusat sampai ke daerah, termasuk dengan hukum adat, perlu dilakukan agar hak masyarakat mengelola hutan adat mendapat jaminan negara. Saat ini ada banyak peraturan yang tersebar di banyak perundang-undangan namun belum selaras dalam mengatur penetapan hutan adat.
Direktur Perkumpulan Huma Indonesia, Dahniar Adriani, mengatakan bahwa harmonisasi dapat dilakukan dengan cara memastikan kewenangan daerah dalam menetapkan masyarakat hukum adat. Menurutnya, pengakuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya terbelah karena ada tarik menarik kewenangan.
"Ketika pemerintah daerah sudah membuat produk hukum daerah mengenai hutan adat, kemudian muncul hambatan prosedur lain, yakni penetapan hukum adat yang lamban dari pemerintah pusat," kata Dahniar dalam diskusi "Meretas Mimpi Hutan Adat" di Jakarta, Rabu (16/1/2019) yang diselenggarakan Perkumpulan Huma Indonesia.
Hal itu dialami oleh Masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih di Pandeglang, Banten. Mereka sudah mengajukan administrasi sejak November 2017 dan baru disurvei lokasi pada November 2018. Anggota Komunitas Pemuda adat kasepuhan Pasir Eurih, Jajuli, mengatakan bahwa masyarakat tidak bisa memantau proses telah berjalan sampai mana.
"Kami hanya menunggu dan tidak tahu prosesnya sampai mana. Kami tidak bisa memantau," kata Jajuli.
Masalah lain yang kerap muncul adalah adanya konflik yang belum selesai setelah masyarakat mendapatkan penetapan hutan adat. Hal itu menjadi kendala bagi masyarakat untuk mengoptimalkan hutan sebagai hak mereka.
Dahniar mengatakan, konflik perlu diselesaikan tuntas agar tidak menambah panjang konflik agraria di Indonesia setelah penetapan hutan adat. Penyelesaian konflik dengan pihak lain bisa memudahkan hak masyarakat adat terjamin.
"Ini perlu dikuatkan dengan administrasi pertanahan, pencatuman dalam peta kawasan hutan, dan integrasi ke rencana tata ruang wilayah (RTRW). Ini semua belum dilakukan," kata Dahniar.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan bahwa selain pendekatan hukum, perlu adanya gerakan sosial dari masyarakat agar konflik agraria disuarakan secara politik. Huma mencatat, terdapat 326 konflik sumber daya alam dan agraria sampai akhir 2018. Menurutnya, hal ini penting karena persoalan agraria juga tergantung dari kemauan politik.
"Jika sudah mencuat ke permukaan, presiden bisa sadar ada masalah dalam hutan adat. Presiden bisa menyatakan sesuatu agar persoalan itu segera dituntaskan. Pernyataan politik itu penting agar semua bergerak," ujar Hariadi. (SUCIPTO)