Proses Perdamaian Terancam, Taliban Rencanakan Serangan Lain
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
KABUL, RABU — Taliban mengklaim bertanggung jawab atas bom truk Kabul, ibu kota Afghanistan, yang menewaskan empat orang dan melukai lebih dari 100 orang. Taliban, Selasa (15/1/2019), bersumpah terus melancarkan serangan.
Serangan tersebut merupakan bentuk protes Taliban terhadap penunjukan mantan mata-mata dan veteran anti-Taliban, Amrullah Saleh, sebagai Menteri Dalam Negeri. Hingga Rabu (16/1/2019), Taliban bersikeras untuk terus melancarkan serangan dan bahkan lebih banyak lagi.
Bom bunuh diri itu mengguncang Kabul, Senin (14//1/2019) malam, di dekat kompleks luar negeri Green Village yang dijaga ketat petugas keamanan. Ledakan terjadi pada saat para diplomat sedang mencari jalan keluar damai atas perang 17 tahun di Afghanistan yang diperkirakan sebagai konflik paling mematikan tahun 2018.
Kekuatan ledakan dirasakan di sejumlah tempat di Kabul sehingga membuat bingung di mana persisnya lokasi ledakan berada. Ledakan tersebut menghancurkan kaca rumah dan toko di sekitarnya.
Juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, mengatakan, serangan tersebut melibatkan lima militan Taliban, termasuk seorang ”pengantin”. Setelah ledakan, empat pelaku serangan memasuki Green Village dan ”membunuh banyak” warga asing.
Wahidullah dari Kementerian Kesehatan Afganistan mengonfirmasi, empat orang meninggal, termasuk tiga petugas keamanan dan satu warga sipil, serta 113 orang lainnya terluka. Salah seorang korban meninggal adalah warga India. Di antara korban luka ada 12 perempuan dan 23 anak yang dirawat sejumlah rumah sakit.
New Delhi mengatakan, India menyerukan agar pelaku keji dalam ledakan itu diadili secepatnya. Melalui akun Twitter, Kemlu Jerman mengatakan, seorang polisi Jerman juga terluka ringan dalam ledakan tersebut.
Juru bicara Kepolisian Kabul, Basir Mujahid, mengatakan, sebagian besar korban adalah warga sipil Afghanistan.
”Tujuh atau delapan orang terluka di setiap rumah di sekitar lokasi ledakan, termasuk saya sendiri. Ketika saya keluar, jalan sudah dipenuhi korban meninggal dan terluka,” kata seorang korban, Mohammad Aref.
Korban lainnya, Emal Fayzi (35), menuturkan, ia sedang berjalan pulang Senin malam ketika ledakan terjadi. Ledakan terjadi begitu kuat hingga ia tak bisa melihat apa pun untuk sesaat. Ia terluka terkena pecahan peluru di bagian dada dan baru sadar ketika dirinya sudah berada di ambulans.
”Tidak ada seorang pun yang aman di negara ini. Mereka yang tidak bersalah dan orang miskin menjadi korban serangan ini,” kata Fayzi yang sedang terbaring di rumah sakit.
Sampai saat ini, beberapa staf PBB masih tinggal dan bekerja di Green Village yang dilindungi oleh tembok tebal penahan ledakan. Namun, juru bicara Kemlu, Najib Danish, menyampaikan kompleks tersebut sebagian besar sudah kosong dan ”hanya menyisakan beberapa penjaga”.
Di dekat sana terdapat juga kompleks PBB yang berdekatan dengan kantor imigrasi Afghanistan dan markas Komisi Pemilihan Independen.
Peristiwa ini adalah serangan terhadap kompleks asing kedua yang diklaim Taliban dalam beberapa bulan terakhir. Pada akhir November 2018, bom mobil meledak di luar kompleks firma keamanan Inggris, G4S, menewaskan sedikitnya 10 orang, lima di antaranya pegawai di G4S.
Menyusul peristiwa itu adalah penembakan terhadap kompleks pemerintah di Kabul pada 24 Desember 2018 yang menewaskan sedikitnya 43 orang. Ini merupakan salah satu serangan terburuk di kota tersebut tahun lalu.
Peristiwa tersebut terjadi pada saat utusan khusus AS untuk perdamaian, Zalmay Khalilzad, bertandang ke Afghanistan untuk mencari solusi mengakhiri perang di Afghanistan. Khalilzad yang bertemu dengan perwakilan Taliban bulan lalu di Abu Dhabi berkunjung juga ke China, India, dan Pakistan hingga 21 Januari 2019.
Para pejabat Afghanistan menduga, serangan terbaru Taliban ini adalah upaya untuk menggagalkan proses perdamaian. Ia juga mengecam keras serangan tersebut dan berjanji akan serius menyelidiki dan menindaknya.
”Sejalan usaha kami mencapai konsensus damai di regional musuh berupaya menggagalkannya,” ujar penasihat Keamanan Nasional, Hamdullah Mohib, di media sosial.
Seorang pejabat Pakta Pertahanan atlantik Utara (NATO) di Kabul, Patrick Andrew, mengatakan, NATO mengecam keras bom bunuh diri tersebut. ”Taliban harus berhenti menggunakan cara kekerasan terhadap sesama warga Afghanistan dan mulai bernegosiasi,” kata Andrew.
Sejauh ini Taliban menolak bernegosiasi langsung dengan Pemerintah Afghanistan meski mendapat tekanan dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Pakistan.
Bulan lalu, rencana Presiden Donald Trump mengurangi prajurit AS di Afghanistan yang bocor membuat sejumlah warga Afghanistan khawatir mereka akan jatuh kembali ke rezim Taliban yang kejam.
Sejak lama para diplomat di Kabul mengatakan bahwa negosiasi dengan militan Taliban akan terjadi sambil pertempuran tetap terjadi di lapangan. (AFP/REUTERS/AP)